A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari kegiatan ini diharapkan dapat:
1. Melakukan pengkajian kemajuan persalinan.
2. Mengidentifikasi masalah pada klien intranatal.
3. Membuat rencana asuhan keperawatan/kebidanan pada klien intranatal.
4. Melakukan manajemen nyeri pada klien intranatal.
5. Melakukan prosedur pertolongan persalinan normal.
6. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan/kebidanan pada klien intranatal.
B. Pokok-Pokok Materi
Untuk mencapai tujuan tersebut, pokok-pokok materi yang harus dipelajari adalah:
1. Anatomi panggul reproduksi wanita.
2. Teori persalinan.
3. Manajemen nyeri persalinan.
4. Tahap-tahap persalinan.
5. Mekanisme persalinan.
6. Tanda-tanda persalinan normal dan proses persalinan.
7. Asuhan keperawatan/kebidanan pada ibu dalam persalinan normal kala I, II, III dan IV.
C. Uraian Materi
Sebelum melaksanakan prosedur tindakan pertolongan persalinan pada ibu intranatal, maka pertama-tama marilah kita pelajari pengkajian dan masalah dalam pertolongan persalinan.
1. Pengkajian
Pada awal kegiatan, peserta diharapkan memahami tentang kegiatan pengkajian yang berguna untuk mengidentifikasi keadaan pasien di saat Anda praktik ke lahan praktik. Lingkup pengkajian meliputi perubahan biofisik, psikologi dan sosial selama intranatal.
a. Kala I : Anamnesa
- Alasan datang.
- Kapan taksiran persalinan.
- Kapan mulai tanda-tanda persalinan.
1). Tanda–tanda persalinan yang benar:
a. Keluarnya darah bercampur sedikit lendir pervagina (bloody show).
b. Timbulnya kontraksi secara teratur mulai dari punggung menyebar ke perut dan meningkat secara intensif dan disertai rasa sakit.
c. Serviks : Terjadi pendataran dan dilatasi.
2). Riwayat tanda-tanda persalinan:
a. Riwayat tentang selaput ketuban.
b. Kontraksi teratur yang semakin lama semakin sering.
c. Bagaimana status emosi.
d. Ada masalah tentang kehamilan.
e. Kapan terakhir makan/minum.
f. Ada alergi terhadap makanan/minuman.
g. Siapa yang menemani selama persalinan.
3). Pemeriksaan fisik kala I:
a. Tanda-tanda vital : TD, nadi, pernafasan dan suhu.
b. Palpasi Leopod I, II, III dan IV.
c. Ukuran panggul.
d. Dilatasi serviks.
e. Kontraksi/his diperiksa selama 10 menit tiap 30-60 menit.
f. Sekret : merah muda sampai dengan cokelat (bloody show).
g. Selaput ketuban +/-.
h. DJJ terdengar jelas di umbilikus.
i. Perilaku : masih terkontrol, optimis, fatigue.
j. Varises, oedema di kaki dan wajah.
b. Kala II
1). Pengkajian
a. Klien mengeluhkan dorong kuat untuk meneran, merasakan tekanan yang semakin tinggi pada daerah rektum.
b. Perineum menonjol.
c. Vulva dan anus membuka.
d. Kaki gemetar saat dorongan mengedan.
e. Lelah.
f. Tidak tahu tehnik relaksasi.
g. Respon emosi takut/khawatir, tidak percaya diri, tidak terkontrol.
h. Kontraksi uterus kuat 4-5 x selama 50-70 detik.
i. Dilatasi 10 cm.
j. Darah keluar sedikit, lendir dari vagina meningkat.
k. Peregangan rektum/vagina.
l. Distensi vesika urinaria.
m. Ketuban (+)/terjadi ruptur.
n. Keringat +++
o. Frekuensi pernafasan meningkat.
p. TD meningkat 5-10 mmHg.
q. Janin : bradikardi selama his.
2). Lingkup masalah
a. Gangguan rasa nyaman, nyeri akut.
b. Pot. Gangguan cardiac output.
c. Gangguan pertukaran O2 (janin).
d. Gangguan integritas kulit.
e. Kurang mampu mengikuti pimpinan persalinan.
f. Potensial infeksi.
g. Potensial trauma pada ibu/janin.
h. Tidak efektif pola nafas.
i. Perubahan konsep diri.
j. Tidak efektif koping individu.
c. Kala III
1). Pengkajian
a. Perilaku gembira dan letih.
b. Tremor kaki menggigil.
c. Perdarahan pervagina.
d. Tali pusat memanjang.
e. Uterus berubah bentuk menjadi bulat dan keras.
f. Kehilangan darah (normal: 250-300 ml.).
g. Jalan lahir : lecet/sobek.
h. Luka episiotomi.
i. Hipotensi pengaruh dari obat/analgesik/anestesi.
j. Nadi lambat.
2). Lingkup masalah
a. Kurang volume cairan.
b. Potensial injury pada ibu.
c. Potensial gangguan proses dalam keluarga.
d. Kurang pengetahuan.
e. Gangguan rasa nyaman, nyeri.
d. Kala IV {Puerperium (setelah kala III s/d 1-2 jam)}
1). Pengkajian
a. Nadi.
b. Uterus.
- Tinggi : antara Symp – umbilikus; 12 jam pertama
c. Lochea : rubra.
e. Perineum : episiotomi, lecet, vulva oedema dan lembut.
f. Rektum : hemorroid.
2). Lingkup masalah
a. Gangguan genito urinaria.
b. Kurang volume cairan.
c. Potensial infeksi.
d. Gangguan rasa nyaman : nyeri.
D. Prosedur Pelaksanaan
Pertolongan persalinan memerlukan persiapan alat secara lengkap dan sistematis untuk agar pelaksanaan pertolongan persalinan tepat dan lancar.
1. Persiapan Alat:
a. Partus set terdiri dari:
- Duk 2 buah.
- Sarung tangan 2 pasang.
- Benang tali pusat/klip.
- ½ kocher 1 buah.
- Klem tali pusat 2 buah.
- Gunting tali pusat 1 buah.
- Gunting episiotomi 1 buah (kalau diperlukan episiotomi).
- Kateter logam/nelaton 1 buah (kalau diperlukan kateterisasi pada kala III)
- Kasa dan deppers 5-6 buah.
- Kapas kering.
- Duk penahan perineum 1 buah.
b. Heachting set terdiri atas steril:
- Nald folder 1 buah.
- Pinset anatomi 1 buah.
- Pinset chirhugie 1 buah.
- Gunting benang 1 buah.
- Jarum, catgut, cromix, ceide.
- Tampon vagina 1 buah.
- Kassa/deppers 4-5 buah.
- Mangkok kecil, 1 buah.
- Sarung tangan 1 buah.
c. Obat emergensi: oxitocyn dan metehergin serta spuilt.
d. Kapas kering steril.
e. Cairan DDT.
f. On steril:
- Betadin 10%, 2 buah kom kecil berisi cairan klorin.
- Ember untuk alat tenun kotor kotoran.
- Bengkok 2 buah.
g. Piring plasenta dan pot.
h. Alat-alat PI (pencegahan infeksi), cairan klorin dan wash lap atau handuk kecil.
i. Untuk bayi:
- Pengisap lendir.
- Peralatan mandi.
- Pembungkus bayi (handuk).
- Obat mata.
- Peneng/tanda identifikasi.
j. Pakaian ibu, pembalut, celana dalam.
k. Alat pelindung diri penolong (APD):
- Tutup kepala.
- Kacamata.
- Masker.
- Celemek.
- Sepatu bot.
l. Alat-alat untuk PI : cairan DDT 2 kom, washlap, tempat sampah medis dan non medis.
2. Langkah-Langkah Pertolongan Persalinan:
KALA I:
- Mempersiapkan alat sesuai kebutuhan.
- Kejelasan dalam menyampaikan tindakan yang akan dilakukan, tujuan, dan hasil tindakan.
- Melakukan penimbangan berat badan ibu hamil.
- Mengukur tanda-tanda vital ibu hamil.
- Melakukan pemeriksaan fisik ibu secara keseluruhan.
- Melakukan pemeriksaan Leopold I.
- Mengukur tinggi fundus uteri ibu hamil dengan menggunakan meteran pita.
- Melakukan pemeriksaan Leopold II.
- Melakukan pemeriksaan Leopold III.
- Melakukan pemeriksaan Leopold IV.
- Menilai denyut jantung janin.
- Memasang pengalas di bawah bokong ibu.
- Melakukan vulva hygiene.
- Melakukan pemeriksaan dalam, menilai kondisi servik dan jalan lahir.
- Merapikan alat-alat dan membuka sarung tangan.
- Melakukan pemeriksaan his/kontraksi.
- Melakukan manajemen nyeri.
- Melakukan pencatatan partograph.
- Melibatkan suami untuk mensupport ibu.
- Melakukan pendkes sesuai masalah ibu.
- Memantau kemajuan persalinan.
KALA II:
- Menjelaskan kondisi ibu, tindakan dan tujuan serta hasil tindakan kepada ibu dan keluarga.
- Melakukan persiapan penolong (cuci tangan, memakai topi kepala, sepatu boot, masker, celemek dan handuk kecil yang diselipkan di pinggang penolong).
- Meminta keluarga membantu menyiapkan posisi meneran.
- Mengajarkan kembali cara meneran, bimbing ibu agar dapat meneran dengan benar dan efektif, perbaiki cara meneran bila salah, anjurkan ibu untuk istirahat diantara waktu his.
- Menyiapkan alat pertolongan persalinan.
- Memasang duk steril.
- Lakukan vulva hygiene dan periksa dalam untuk memastikan pembukaan lengkap, memecahkan selaput ketuban pada saat his bila pembukaan sudah lengkap.
- Cuci tangan dengan larutan klorin 0,5 % lepaskan dan rendam dalam keadaan terbalik, kemudian cuci tangan dengan benar.
- Periksa denyut jantung janin saat relaksasi.
- Menyiapkan posisi ibu yang nyaman dan minta keluarga memberikan bantuan yang sesuai. Seperti membantu dan menyokong ibu pada posisi setengah duduk.
- Memberitahukan bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik.
- Laksanakan bimbingan meneran.
- Memasang handuk diatas perut ibu.
- Letakkan kain steril dengan bentuk segitiga di bawah bokong ibu.
- Buka partus set dan periksa kembali kelengkapan alat.
- Pasang sarung tangan steril.
- Membantu melahirkan kepala: setelah tampak kepala bayi dengan diameter 5-6 cm membuka vulva:
a. Lindungi perineum dengan satu tangan dilapisi kain, dengan menggunakan ibu jari tangan kanan direntangkan dengan jari lain di bawah duk steril yang ditekan ke arah kranial.
b. Tangan kiri menahan kepala bayi untuk menahan posisi refleksi dan membantu lahirnya kepala perineum.
c. Menganjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernafas cepat dan dangkal.
- Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat dan ambil tindakan sesuai kondisi : jika tali pusat melilit secara longgar, lepaskan melalui kepala bayi dan jika tali pusat melilit leher secara kuat, klem tali pusat di dua tempat dan potong di antara dua klem tersebut.
- Tunggu kepala bayi melakukan putaran paksi lurus secara spontan.
- Membersihkan mata, hidung dan mulut, dengan kasa steril.
- Membantu melahirkan bahu:
a. Memegang kepala bayi dengan jari tangan saling merapat secara biparietal. Anjurkan ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan perlahan gerakkan kepala ke arah bawah hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan kemudian gerakkan ke arah atas untuk melahirkan bahu belakang.
- Membantu melahirkan badan:
a. Geser tangan bawah ke arah perineum ibu untuk menyangga kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan memegang lengan dan siku atas.
b. Setelah tubuh bayi lahir, penelusuran tangan atas berlanjut ke punggung, bokong, tungkai dan kaki. Pegang mata kaki (masukkan telunjuk diantara kaki dan pegang masing-masing mata kaki).
- Lakukan penilaian APGAR score (bayi menangis kuat, tidak/bernafas tanpa kesulitan, bayi bergerak aktif/tidak, warna kulit, denyut nadi).
- Letakkan bayi depan vagina ibu dan lakukan klem pertama.
- Meletakkan bayi diatas handuk yang berada di perut ibu, kemudian bayi dikeringkan mulai dari kepala, dada dengan sedikit tekanan, punggung dan kaki.
- Selimuti bayi dengan bagian handuk yang kering.
- Memotong tali pusat:
a. Mengurut tali pusat ke arah plasenta.
b. Klem kedua dengan jarak 3-4 cm dari klem pertama.
c. Potong tali pusat, dengan memperhatikan keamanan bagi bayi. Dengan tangan kiri melindung potong diantara kedua klem.
- Melakukan bonding dan attachment:
a. Memberikan bayi ke ibu untuk kontak skin to skin.
b. Memfasilitasi ibu untuk menyusui bayinya.
c. Menginformasikan kondisi bayi secara umum.
KALA III:
- Memeriksa tinggi fundus uteri, kontraksi dan kondisi kandung kemih melakukan rangsangan kontraksi pada fundus.
- Memeriksa kandung kemih (bila perlu lakukan kateterisasi).
- Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vagina.
- Letakkan satu tangan di atas perut ibu, ditepi atas simpisis dan posisi seperti menggunting, tangan lainnya meregangkan tali pusat.
- Saat kontraksi tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan lainnya mendorong uterus ke arah dorso-kranial secara hati-hati. Jika plasenta tidak lahir, hentikan peregangan tali pusat dan tunggu hingga kontraksi berikutnya muncul dan ulangi prosedur tadi (pelepasan plasenta dapat dibantu dengan rangsangan pada puting payudara ibu).
- Bila tanda-tanda plasenta sudah lepas timbul (plasenta ada di introitus vagina), minta ibu meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan sejajar lantai dan kemudian ke arah atas, sambil tetap melakukan dorong dorso-kranial. Jika tali pusat bertambah panjang pindahkan klem ke depan vulva dan tangan kiri menampung plasenta dan dengan gerakan memutar searah jarum jam lahirkan plasenta dan letakkan pada wadah yang telah disiapkan.
- Periksa kelengkapan plasenta: selaput plasenta dan kotiledon dengan membersihkan dengan kasa (bila ditemukan tidak lengkap atau ada robekan lakukan eksplorasi ke dalam uterus dengan menggunakan sarung tangan yang steril untuk mengeluarkan bagian yang tertinggal).
- Melakukan massase uterus dengan meletakkan telapak tangan di fundus dan lakukan masase dengan gerakan melingkar dengan lembut hingga uterus berkontraksi dan teraba keras (lakukan tindakan yang diperlukan bila uterus tidak berkontraksi setelah 15 detik dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memeriksa).
- Memeriksa bila ada perdarahan dan cari sumbernya lihat di vagina dan perineum (bila ada robekan lakukan penjahitan), siapkan alat heachting.
- Lanjutkan memeriksa plasenta : ukuran, panjang tali pusat, kotiledon, berat plasenta.
KALA IV:
- Pastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervagina, lakukan pemantauan kontraksi 2-5 per 15 menit pertama, lakukan tiap 15 menit pada 1 jam pertama dan tiap 30 menit pada jam kedua.
- Bayi tetap melakukan kontak dengan ibu melalui menyusui dini. Biarkan bayi tetap berada di payudara ibu selama 1 jam walaupun bayi tidak mengisap putting susu ibu.
- Membersihkan vulva, vagina ibu.
- Ajarkan ibu cara melakukan masase.
- Hitung dan perkirakan jumlah perdarahan.
- Lakukan pengukuran tanda vital : tiap 15 menit untuk nadi dan kandung kemih selama 1 jam pertama, tiap jam untuk suhu dan TD.
- Periksa kembali keadaan bayi untuk memastikan keadaan tanda vital bayi: nadi, pernafasan dan suhu.
- Tempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin untuk dekontaminasi.
- Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.
- Bersihkan badan ibu dengan cairan DDT dari sisa ketuban, lendir dan darah, bantu ibu memakai pakaian dalam dan pembalut.
- Pastikan ibu dalam keadaan nyaman, bantu ibu dalam memberikan ASI.
- Bersihkan tempat bersalin dengan larutan klorin selama 10 menit.
- Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
- Dokumentasikan semua data selama proses persalinan dalam partograph dan dokumen lainnya.
Sabtu, 05 Februari 2011
ASUHAN KEPERAWATAN HEPATITIS
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI
Hepatitis adalah infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Brunner & Suddarth, 2001).
Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi yang penyebarannya luas, walaupun efek utamanya pada hati (Price & Willson, 2006).
Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi virus hepatotropik yang bersifat sistemik & akut (Mansjoer, dkk, 2000).
B. ETIOLOGI
Paling sedikit ada 6 jenis virus penyebab hepatitis (masing-masing menyebabkan tipe hepatitis yang berbeda), yaitu :
1. Virus hepatitis A (HAV).
2. Virus hepatitis B (HBV).
3. Virus hepatitis C (HCV).
4. Virus hepatitis D (HDV).
5. Virus hepatitis E (HEV).
6. Virus hepatitis G (HGV).
C. KLASIFIKASI
1. Hepatitis A (Hepatitis Infeksiosa)
- Penyebab : Virus hepatitis A (HAV).
- Cara penularan : - Jalur fekal-oral.
- Sanitasi yang jelek.
- Kontak antar manusia.
- Dibawa oleh air & makanan.
- Inkubasi (hari) : 15-49 hari, rata-rata 30 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda dan gejala : - Dapat terjadi dengan atau tanpa gejala : sakit mirip flu.
- Fase pra-ikterik : sakit kepala, malaise, patique, anoreksia, febris.
- Fase ikterik : Urine yang berwarna gelap, gejala ikterus pada sclera & kulit, nyeri tekan pada hati.
- Hasil akhir : biasanya ringan dengan pemulihan. Tidak terdapat status karier atau meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, atau kanker hati.
2. Hepatitis B (Hepatitis Serum)
- Penyebab : Virus Hepatitis B (HBV).
- Cara penularan : - Parenteral atau lewat koncak dengan karier atau penderita infeksi akut, koncak seksual, & oral-oral.
- Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.
- Inkubasi : 28-160 hari. Rata-rata 70-80 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Dapat terjadi tanpa gejala, dapat timbul antralgia ruam.
- Hasil akhir : Dapat berat. Status karier mungkin terjadi. Meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, & kanker hati.
3. Hepatitis C (Hepatitis non- A, non-Ba)
- Penyebab : Virus hepatitis C (HCV).
- Cara penularan : Transfusi darah & produk darah, terkena darah yang terkontaminasi lewat peralatan atau parafenalia obat.
- Inkubasi : 15-160 hari (rata-rata 50 hari).
- Imunitas : Serangan kedua dapat homologus menunjukkan imunitas yang rendah atau infeksi oleh agens lain.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV : tidak begitu berat & anikterik.
- Hasil akhir : Sering terjadi status karier yang kronis & penyakit hati yang kronis. Meningkatnya risiko kanker hati.
4. Hepatitis D
- Penyebab : Virus hepatitis D.
- Cara penularan : Sama seperti HBV, antigen permulaan HBV diperlukan untuk replikasi ; pola penularan serupa dengan pola penularan HBV.
- Inkubasi : 21-140 hari. Rata-rata 35 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV.
- Hasil akhir : Serupa dengan HBV, tetapi kemungkinan status karier, hepatitis aktif yang kronis & sirosis lebih besar.
5. Hepatitis E
- Penyebab : virus hepatitis E (HEV).
- Cara penularan : Jalur fekal-oral : kontak antar manusia dimungkinkan meskipun risikonya rendah.
- Inkubasi : 15-65 hari. Rata-rata 42 hari.
- Imunitas : Tidak diketahui.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.
- Hasil akhir : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.
D. PATOFISIOLOGI
Skemanya :
Infeksi virus & reaksi toksik
Inflamasi pada hepar (Lobule)
Pola hepar terganggu
Nekrosis & kerusakan sel hepar
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus & oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan & bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobule & unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis & kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon system imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar pasien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
E. MANIFESTASI KLINIS
Terjadi gejala prodromal infeksi viral sistemik seperti anoreksia, nausea, vomiting, fatigue, malaise, artralgia, mialgia, nyeri kepala, fotopobia, faringitis, batuk dan koriza dapat mendahului timbulnya ikterus selama 1-2 minggu. Apabila hepar sudah membesar pasien dapat mengeluh nyeri perut kanan atas.
Demam, dengan suhu sekitar 38-39 °C lebih sering ditemukan pada hepatitis A. Urine berwarna gelap (seperti air teh) dan feses berwarna tanah (clay-colored). Dengan timbulnya gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal menghilang. Hepatomegali dapat disertai nyeri tekan. Splenomegali dapat ditemukan pada 10-20% pasien.
F. KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi ringan, misalnya kolestasis berkepanjangan, relapsing hepatitis, atau hepatitis kronis persisten dengan gejala asimtomatik dan AST fluktuatif.
Komplikasi berat dapat terjadi adalah hepatitis kronis aktif, sirosis hati, hepatitis fulminan, atau karsinoma hepatoseluler. Selain itu, dapat pula terjadi anemia aplastik, glomerulonefritis.
G. PROGNOSIS
Hepatitis A biasanya mempunyai prognosis baik kecuali yang fulminan, sedangkan hepatitis B prognosisnya semakin buruk bila infeksi terjadi semakin dini.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat 2 pemeriksaan penting untuk mendiagnosis hepatitis, yaitu tes awal untuk mengkonfirmasi adanya peradangan akut pada hati dan tes yang bertujuan untuk mengetahui etiologi dari peradangan akut tersebut.
Pemeriksaan tes fungsi hati, khususnya Alanin Amino Transferase (ALT = SGPT), Aspartat Amino Transferase (AST = SGOT). Bila perlu ditambah dengan pemeriksaan billirubin.
Kadar transaminase (SGOT/SGPT) mencapai puncak pada saat timbulnya ikterus. Peningkatan kadar SGOT & SGPT yang menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati adalah 50-2.000 IU/mL. Terjadi peningkatan billirubin total serum (berkisar antara 5-20 mg/dL).
I. PENGOBATAN
Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus-menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
Pengobatan terpilih untuk hepatitis B atau C kronis simtomatik adalah terapi antivirus dengan interferon - α. Terapi antivirus untuk hepatitis D kronis membutuhkan pasien uji eksperimental.
J. PENCEGAHAN
Pengobatan lebih ditekankan pada pencegahan melalui imunisasi karena keterbatasan pengobatan hepatitis virus. Vaksin diberikan dengan rekomendasi untuk jadwal pemberian 2 dosis bagi orang dewasa berumur 18 tahun & yang lebih tua. Dan dosis ke-2 diberikan 6 hingga 12 bulan setelah dosis pertama. Cara pemberian adalah suntikan intramuskular dalam otot deltoideus.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise umum.
2. Sirkulasi
Tanda : Bradikardia (hiperbillirubinemia berat), ikterik pada sklera, kulit & membran mukosa.
3. Eliminasi
Gejala : Urine gelap, diare/konstipasi, feses warna tanah liat, adanya/berulangnya hemodialisa.
4. Makanan/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan (anoreksia), penurunan berat badan atau meningkat (edema), mual/muntah.
Tanda : Asites.
5. Neurosensori
Tanda : Peka rangsang, cenderung tidur, letargi, asteriksis.
6. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Kram abdomen, nyeri tekan pada kuadran kanan atas, mialgia, artralgia, sakit kepala, gatal (pruitus).
Tanda : Otot tegang, gelisah.
7. Pernafasan
Gejala : Tidak minat/enggan merokok (perokok).
8. Keamanan
Gejala : Adanya transfusi darah/produk darah.
Tanda : Demam, urtikaria, lesi makulopapular, eritema tak beraturan, eksaserbasi jerawat, angioma jaring-jaring, eritema palmar, ginekomastia (kadang-kadang ada pada hepatitis alkoholik), splenomegali, pembesaran nodus servikal posterior.
9. Seksualitas
Gejala : Pola hidup/perilaku meningkatkan risiko terpajan.
10. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Terpajan virus, bakteri atau toksin, pembawa (simtomatik atau asimtomatik), adanya prosedur bedah dengan anestesia haloten, terpajan pada kimia toksik, perjalanan/imigran, obat jalanan atau penggunaan alkohol, diabetes, penyakit ginjal, adanya infeksi seperti flu pada pernafasan atas.
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes fungsi hati.
2. AST (SGOT)/ALT (SGPT).
3. Darah lengkap.
4. Leukopenia.
5. Diferensial darah lengkap.
6. Alkali fosfatase.
7. Feses.
8. Albumin serum.
9. Gula darah.
10. Anti – HAV IgM.
11. Hbs Ag.
12. Billirubin serum.
13. Tes ekskresi BSP.
14. Biopsi hati.
15. Scan hati.
16. Urinalisa.
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum; penurunan kekuatan/ketahanan; nyeri.
Tujuan : Pasien mampu beraktivitas kembali.
Kriteria Hasil :- Menyatakan pemahaman situasi/faktor risiko & program pengobatan individu.
- Menunjukkan tehnik/perilaku yang memampukan kembali melakukan aktivitas.
- Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi:
- Tingkatkan tirah baring/duduk, berikan lingkungan tenang.
Rasional : Meningkatkan istirahat & ketenangan menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dan posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah ke kaki, yang mencegah sirkulasi optimal ke sel hati.
- Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
Rasional : Meningkatkan fungsi pernapasan & meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan risiko kerusakan jaringan.
- Lakukan tugas dengan cepat & sesuai toleransi.
Rasional : Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa gangguan.
- Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi. Bantu melakukan latihan rentang gerak sendi pasif/aktif.
Rasional : Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
- Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati.
Rasional : Menunjukkan kurangnya resolusi/eksaserbasi penyakit, memerlukan istirahat lanjut, mengganti program terapi.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorpsi & metabolisme pencernaan makanan ; penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tahanan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil : - Menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.
- Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai Lab. normal & bebas tanda malnutrisi.
Intervensi:
- Awasi pemasukan diet. Berikan makanan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan makanan pagi.
Rasional : Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia. Anoreksia juga paling buruk selama siang hari, membuat masukan makanan yang sulit pada sore hari.
- Berikan perawatan mulut sebelum makan.
Rasional : Menghilangkan rasa tak enak dapat meningkatkan nafsu makan.
- Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
Rasional : Menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan.
- Konsul pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan pasien dengan masukan lemak & protein sesuai toleransi.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan individu. Metabolisme lemak bervariasi tergantung pada produksi & pengeluaran empedu & perlunya pembatasan lemak bila terjadi diare.
- Awasi glukosa darah.
Rasional : Hiperglikemia/hipoglikemia dapat terjadi, memerlukan perubahan diet/pemberian insulin.
- Berikan tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan kalori bila tanda kekurangan terjadi/gejala memanjang.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. EGC. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta.
Noer, Sjaifoellah, dkk. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
A. DEFINISI
Hepatitis adalah infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Brunner & Suddarth, 2001).
Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi yang penyebarannya luas, walaupun efek utamanya pada hati (Price & Willson, 2006).
Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi virus hepatotropik yang bersifat sistemik & akut (Mansjoer, dkk, 2000).
B. ETIOLOGI
Paling sedikit ada 6 jenis virus penyebab hepatitis (masing-masing menyebabkan tipe hepatitis yang berbeda), yaitu :
1. Virus hepatitis A (HAV).
2. Virus hepatitis B (HBV).
3. Virus hepatitis C (HCV).
4. Virus hepatitis D (HDV).
5. Virus hepatitis E (HEV).
6. Virus hepatitis G (HGV).
C. KLASIFIKASI
1. Hepatitis A (Hepatitis Infeksiosa)
- Penyebab : Virus hepatitis A (HAV).
- Cara penularan : - Jalur fekal-oral.
- Sanitasi yang jelek.
- Kontak antar manusia.
- Dibawa oleh air & makanan.
- Inkubasi (hari) : 15-49 hari, rata-rata 30 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda dan gejala : - Dapat terjadi dengan atau tanpa gejala : sakit mirip flu.
- Fase pra-ikterik : sakit kepala, malaise, patique, anoreksia, febris.
- Fase ikterik : Urine yang berwarna gelap, gejala ikterus pada sclera & kulit, nyeri tekan pada hati.
- Hasil akhir : biasanya ringan dengan pemulihan. Tidak terdapat status karier atau meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, atau kanker hati.
2. Hepatitis B (Hepatitis Serum)
- Penyebab : Virus Hepatitis B (HBV).
- Cara penularan : - Parenteral atau lewat koncak dengan karier atau penderita infeksi akut, koncak seksual, & oral-oral.
- Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.
- Inkubasi : 28-160 hari. Rata-rata 70-80 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Dapat terjadi tanpa gejala, dapat timbul antralgia ruam.
- Hasil akhir : Dapat berat. Status karier mungkin terjadi. Meningkatnya resiko hepatitis kronis, sirosis, & kanker hati.
3. Hepatitis C (Hepatitis non- A, non-Ba)
- Penyebab : Virus hepatitis C (HCV).
- Cara penularan : Transfusi darah & produk darah, terkena darah yang terkontaminasi lewat peralatan atau parafenalia obat.
- Inkubasi : 15-160 hari (rata-rata 50 hari).
- Imunitas : Serangan kedua dapat homologus menunjukkan imunitas yang rendah atau infeksi oleh agens lain.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV : tidak begitu berat & anikterik.
- Hasil akhir : Sering terjadi status karier yang kronis & penyakit hati yang kronis. Meningkatnya risiko kanker hati.
4. Hepatitis D
- Penyebab : Virus hepatitis D.
- Cara penularan : Sama seperti HBV, antigen permulaan HBV diperlukan untuk replikasi ; pola penularan serupa dengan pola penularan HBV.
- Inkubasi : 21-140 hari. Rata-rata 35 hari.
- Imunitas : Homologus.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HBV.
- Hasil akhir : Serupa dengan HBV, tetapi kemungkinan status karier, hepatitis aktif yang kronis & sirosis lebih besar.
5. Hepatitis E
- Penyebab : virus hepatitis E (HEV).
- Cara penularan : Jalur fekal-oral : kontak antar manusia dimungkinkan meskipun risikonya rendah.
- Inkubasi : 15-65 hari. Rata-rata 42 hari.
- Imunitas : Tidak diketahui.
- Tanda & gejala : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.
- Hasil akhir : Serupa dengan HAV, kecuali sangat berat pada wanita hamil.
D. PATOFISIOLOGI
Skemanya :
Infeksi virus & reaksi toksik
Inflamasi pada hepar (Lobule)
Pola hepar terganggu
Nekrosis & kerusakan sel hepar
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus & oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan & bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobule & unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis & kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon system imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar pasien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
E. MANIFESTASI KLINIS
Terjadi gejala prodromal infeksi viral sistemik seperti anoreksia, nausea, vomiting, fatigue, malaise, artralgia, mialgia, nyeri kepala, fotopobia, faringitis, batuk dan koriza dapat mendahului timbulnya ikterus selama 1-2 minggu. Apabila hepar sudah membesar pasien dapat mengeluh nyeri perut kanan atas.
Demam, dengan suhu sekitar 38-39 °C lebih sering ditemukan pada hepatitis A. Urine berwarna gelap (seperti air teh) dan feses berwarna tanah (clay-colored). Dengan timbulnya gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal menghilang. Hepatomegali dapat disertai nyeri tekan. Splenomegali dapat ditemukan pada 10-20% pasien.
F. KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi ringan, misalnya kolestasis berkepanjangan, relapsing hepatitis, atau hepatitis kronis persisten dengan gejala asimtomatik dan AST fluktuatif.
Komplikasi berat dapat terjadi adalah hepatitis kronis aktif, sirosis hati, hepatitis fulminan, atau karsinoma hepatoseluler. Selain itu, dapat pula terjadi anemia aplastik, glomerulonefritis.
G. PROGNOSIS
Hepatitis A biasanya mempunyai prognosis baik kecuali yang fulminan, sedangkan hepatitis B prognosisnya semakin buruk bila infeksi terjadi semakin dini.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat 2 pemeriksaan penting untuk mendiagnosis hepatitis, yaitu tes awal untuk mengkonfirmasi adanya peradangan akut pada hati dan tes yang bertujuan untuk mengetahui etiologi dari peradangan akut tersebut.
Pemeriksaan tes fungsi hati, khususnya Alanin Amino Transferase (ALT = SGPT), Aspartat Amino Transferase (AST = SGOT). Bila perlu ditambah dengan pemeriksaan billirubin.
Kadar transaminase (SGOT/SGPT) mencapai puncak pada saat timbulnya ikterus. Peningkatan kadar SGOT & SGPT yang menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati adalah 50-2.000 IU/mL. Terjadi peningkatan billirubin total serum (berkisar antara 5-20 mg/dL).
I. PENGOBATAN
Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus-menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
Pengobatan terpilih untuk hepatitis B atau C kronis simtomatik adalah terapi antivirus dengan interferon - α. Terapi antivirus untuk hepatitis D kronis membutuhkan pasien uji eksperimental.
J. PENCEGAHAN
Pengobatan lebih ditekankan pada pencegahan melalui imunisasi karena keterbatasan pengobatan hepatitis virus. Vaksin diberikan dengan rekomendasi untuk jadwal pemberian 2 dosis bagi orang dewasa berumur 18 tahun & yang lebih tua. Dan dosis ke-2 diberikan 6 hingga 12 bulan setelah dosis pertama. Cara pemberian adalah suntikan intramuskular dalam otot deltoideus.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise umum.
2. Sirkulasi
Tanda : Bradikardia (hiperbillirubinemia berat), ikterik pada sklera, kulit & membran mukosa.
3. Eliminasi
Gejala : Urine gelap, diare/konstipasi, feses warna tanah liat, adanya/berulangnya hemodialisa.
4. Makanan/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan (anoreksia), penurunan berat badan atau meningkat (edema), mual/muntah.
Tanda : Asites.
5. Neurosensori
Tanda : Peka rangsang, cenderung tidur, letargi, asteriksis.
6. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Kram abdomen, nyeri tekan pada kuadran kanan atas, mialgia, artralgia, sakit kepala, gatal (pruitus).
Tanda : Otot tegang, gelisah.
7. Pernafasan
Gejala : Tidak minat/enggan merokok (perokok).
8. Keamanan
Gejala : Adanya transfusi darah/produk darah.
Tanda : Demam, urtikaria, lesi makulopapular, eritema tak beraturan, eksaserbasi jerawat, angioma jaring-jaring, eritema palmar, ginekomastia (kadang-kadang ada pada hepatitis alkoholik), splenomegali, pembesaran nodus servikal posterior.
9. Seksualitas
Gejala : Pola hidup/perilaku meningkatkan risiko terpajan.
10. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Terpajan virus, bakteri atau toksin, pembawa (simtomatik atau asimtomatik), adanya prosedur bedah dengan anestesia haloten, terpajan pada kimia toksik, perjalanan/imigran, obat jalanan atau penggunaan alkohol, diabetes, penyakit ginjal, adanya infeksi seperti flu pada pernafasan atas.
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes fungsi hati.
2. AST (SGOT)/ALT (SGPT).
3. Darah lengkap.
4. Leukopenia.
5. Diferensial darah lengkap.
6. Alkali fosfatase.
7. Feses.
8. Albumin serum.
9. Gula darah.
10. Anti – HAV IgM.
11. Hbs Ag.
12. Billirubin serum.
13. Tes ekskresi BSP.
14. Biopsi hati.
15. Scan hati.
16. Urinalisa.
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum; penurunan kekuatan/ketahanan; nyeri.
Tujuan : Pasien mampu beraktivitas kembali.
Kriteria Hasil :- Menyatakan pemahaman situasi/faktor risiko & program pengobatan individu.
- Menunjukkan tehnik/perilaku yang memampukan kembali melakukan aktivitas.
- Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi:
- Tingkatkan tirah baring/duduk, berikan lingkungan tenang.
Rasional : Meningkatkan istirahat & ketenangan menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dan posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah ke kaki, yang mencegah sirkulasi optimal ke sel hati.
- Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
Rasional : Meningkatkan fungsi pernapasan & meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan risiko kerusakan jaringan.
- Lakukan tugas dengan cepat & sesuai toleransi.
Rasional : Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa gangguan.
- Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi. Bantu melakukan latihan rentang gerak sendi pasif/aktif.
Rasional : Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
- Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati.
Rasional : Menunjukkan kurangnya resolusi/eksaserbasi penyakit, memerlukan istirahat lanjut, mengganti program terapi.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorpsi & metabolisme pencernaan makanan ; penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tahanan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil : - Menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.
- Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai Lab. normal & bebas tanda malnutrisi.
Intervensi:
- Awasi pemasukan diet. Berikan makanan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan makanan pagi.
Rasional : Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia. Anoreksia juga paling buruk selama siang hari, membuat masukan makanan yang sulit pada sore hari.
- Berikan perawatan mulut sebelum makan.
Rasional : Menghilangkan rasa tak enak dapat meningkatkan nafsu makan.
- Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
Rasional : Menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan.
- Konsul pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan pasien dengan masukan lemak & protein sesuai toleransi.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan individu. Metabolisme lemak bervariasi tergantung pada produksi & pengeluaran empedu & perlunya pembatasan lemak bila terjadi diare.
- Awasi glukosa darah.
Rasional : Hiperglikemia/hipoglikemia dapat terjadi, memerlukan perubahan diet/pemberian insulin.
- Berikan tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan kalori bila tanda kekurangan terjadi/gejala memanjang.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. EGC. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta.
Noer, Sjaifoellah, dkk. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Rabu, 02 Februari 2011
IRIGASI TELINGA
Pengertian:
Irigasi telinga adalah suatu usaha untuk memasukkan cairan dalam telinga.
Tujuan: Untuk membersihkan atau mengeluarkan benda asing dari dalam telinga.
Indikasi:
1. Sumbatan serumen.
2. Adanya benda asing dalam telinga.
Kontra Indikasi:
1. Gangguan pada membran tympani.
Kemungkinan Komplikasi:
Ruptur (pecah) pada membran tympani.
Peralatan:
1. Alat irigasi telinga dengan penghisap (peralatan dapat bervariasi dari sprit balon sampai water pik) bila tersisa.
2. Sediakan forset telinga.
3. Air (sama dengan suhu tubuh)
4. Basin (bengkok) untuk menampung cairan.
5. Handuk/laken untuk menutupi pakaian pasien.
Prosedur Kerja:
1. Kumpulkan semua peralatan.
2. Identifikasi pasien.
3. Jelaskan prosedur tindakan pada pasien.
4. Cuci tangan.
5. Tutupi pasien dengan handuk/laken.
6. Berikan pasien posisi duduk.
7. Tarik aurikel (daun telinga) ke atas dan ke belakang.
8. Arahkan aliran cairan dari bagian atas liang telinga menggunakan spuit balon/water pik.
9. Keringkan bagian luar telinga setelah irigasi telinga dilakukan.
Tindak Lanjut:
1. Kaji keberhasilan irigasi telinga.
2. Kaji rasa nyaman pasien.
3. Bersihkan peralatan.
Dokumentasi:
1. Tanggal dan waktu prosedur.
2. Tipe dan jumlah cairan.
3. Toleransi pasien terhadap prosedur.
4. Karakter cairan yang keluar.
5. Intruksi-intruksi yang diperlukan oleh pasien atau keluarga.
Pemberian Obat Tetes Telinga:
Petunjuk cara menggunakan beter telinga yaitu:
1. Hangatkan larutan sepanas suhu badan (tidak lebih 38 °C) dapat timbul vertigo (pusing) bila cairan kepanasan atau kedinginan (obat tetesnya boleh genggam di dalam tangan beberapa saat atau rendam dalam cairan hangat).
2. Usahakan agar telinga pasien ke atas.
3. Luruskan lubang telinga dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang (pada orang dewasa).
4. Teteskan obat pada dinding saluran.
Tujuan: Supaya cairan mudah mengalir melalui dinding telinga kalau ditetes ke tengah dapat menghalang gelembung udara.
5. Pertahankan kepala pasien pada posisi tadi selama 2-3 menit.
6. Keringkan telinga luar dari obat untuk mencegah iritasi.
7. Tutup telinga dengan kapas bila perlu.
Irigasi telinga adalah suatu usaha untuk memasukkan cairan dalam telinga.
Tujuan: Untuk membersihkan atau mengeluarkan benda asing dari dalam telinga.
Indikasi:
1. Sumbatan serumen.
2. Adanya benda asing dalam telinga.
Kontra Indikasi:
1. Gangguan pada membran tympani.
Kemungkinan Komplikasi:
Ruptur (pecah) pada membran tympani.
Peralatan:
1. Alat irigasi telinga dengan penghisap (peralatan dapat bervariasi dari sprit balon sampai water pik) bila tersisa.
2. Sediakan forset telinga.
3. Air (sama dengan suhu tubuh)
4. Basin (bengkok) untuk menampung cairan.
5. Handuk/laken untuk menutupi pakaian pasien.
Prosedur Kerja:
1. Kumpulkan semua peralatan.
2. Identifikasi pasien.
3. Jelaskan prosedur tindakan pada pasien.
4. Cuci tangan.
5. Tutupi pasien dengan handuk/laken.
6. Berikan pasien posisi duduk.
7. Tarik aurikel (daun telinga) ke atas dan ke belakang.
8. Arahkan aliran cairan dari bagian atas liang telinga menggunakan spuit balon/water pik.
9. Keringkan bagian luar telinga setelah irigasi telinga dilakukan.
Tindak Lanjut:
1. Kaji keberhasilan irigasi telinga.
2. Kaji rasa nyaman pasien.
3. Bersihkan peralatan.
Dokumentasi:
1. Tanggal dan waktu prosedur.
2. Tipe dan jumlah cairan.
3. Toleransi pasien terhadap prosedur.
4. Karakter cairan yang keluar.
5. Intruksi-intruksi yang diperlukan oleh pasien atau keluarga.
Pemberian Obat Tetes Telinga:
Petunjuk cara menggunakan beter telinga yaitu:
1. Hangatkan larutan sepanas suhu badan (tidak lebih 38 °C) dapat timbul vertigo (pusing) bila cairan kepanasan atau kedinginan (obat tetesnya boleh genggam di dalam tangan beberapa saat atau rendam dalam cairan hangat).
2. Usahakan agar telinga pasien ke atas.
3. Luruskan lubang telinga dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang (pada orang dewasa).
4. Teteskan obat pada dinding saluran.
Tujuan: Supaya cairan mudah mengalir melalui dinding telinga kalau ditetes ke tengah dapat menghalang gelembung udara.
5. Pertahankan kepala pasien pada posisi tadi selama 2-3 menit.
6. Keringkan telinga luar dari obat untuk mencegah iritasi.
7. Tutup telinga dengan kapas bila perlu.
Label:
TINDAKAN KEPERAWATAN
TINDAKAN DEBRIDEMENT PERAWATAN LUKA BAKAR
Pengertian:
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh api, dan oleh penyebab lain dengan akibat serangan. Dapat juga disebabkan oleh air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi.
Tujuan:
1. Untuk menentukan kedalaman luka bakar.
2. Untuk memberikan suportif atau resusitatif awal pada pasien dengan luka bakar.
Indikasi:
Luka bakar akibat listrik, bahan kimia, sengatan atau panas.
Persiapan Alat:
1. Sarung tangan bersih.
2. Sarung tangan steril.
3. Set steril.
- Kain kasa ukuran 4x4.
- Instrumen bak/bengkok.
- Duk steril.
- Kom kecil.
- Gunting.
- Pinset dan arteri klem.
4. Cairan NaCl 0,9%.
5. Spuit steril.
6. Gown bersih/celemek.
7. Pinset bersih.
8. Pengalas atau under pad.
9. Plester.
10. Tempat sampah.
11. Selimut ekstra (bila perlu).
Cara Kerja:
1. Jelaskan kepada klien prosedur dan tujuan mengganti luka.
2. Kaji skala nyeri, berikan obat analgesik 30 menit sebelum melakukan prosedur.
3. Bawa alat ke dekat pasien dan anjurkan kepada klien agar tidak menyentuh alat selama melakukan prosedur.
4. Jaga privasi klien.
5. Atur posisi klien yang nyaman dan tutup klien dengan selimut ekstra.
6. Letakkan alat-alat dekat dengan pasien.
7. Pasang under pad di bawah area yang ada luka.
8. Buka selimut dan baju klien sehingga bagian yang luka kelihatan.
9. Tempatkan bengkok di bawah luka.
10. Cuci tangan selama 1 menit dan pakai sarung tangan bersih.
11. Angkat balutan yang lama bagian luar dengan pinset bersih dan tinggalkan verban bagian dalam.
12. Nilai luka seperti jaringan granulasi, dehiscence, inflamasi serta karakter luka seperti: warna dan bau.
13. Nilai kulit sekitar luka: ekskoreasi, rednes, dan inflamasi.
14. Buka sarung tangan dan cuci tangan selama 3 menit.
15. Siapkan area steril.
16. Buka set balutan dan tuangkan cairan steril ke dalam kom kecil.
17. Buka bungkus spuit 20-50 cc, letakkan di area steril tanpa menyentuh area tersebut.
18. Pakai sarung tangan steril.
19. Peras kain kasa dan tempatkan pada bak instrument.
20. Isi cairan spuit.
21. Pasang duk steril di sekitar luka dan angkat balutan luka bagian dalam dengan pinset steril secara hati-hati lalu buang ke bengkok. Apabila balutan sukar diangkat, katakan kepada klien bahwa kondisi ini akan membuat anda tidak nyaman atau nyeri, jangan dituangkan cairan karena akan merusak jaringan pada saat verban diangkat.
22. Dekatkan spuit yang berisi cairan ke luka dan semprotkan secara hati-hati mulai dari permukaan luka sampai ke bagian yang dalam. Lakukan sampai cairan habis atau cairan yang keluar dari luka menjadi bening. Inspeksi luka, bila ada jaringan nekrose lakukan nekrotomi dengan mengangkat jaringan nekrotik, lalu bersihkan dengan kain kasa yang telah dilembabkan. Bersihkan luka dengan kain kasa 2x2 yang lembab mulai dari daerah tengah ke pinggir luar. Apabila lukanya dalam, ganti ujung spuit dengan kateter yang lembut dan masukkan ke dalam luka, lalu lakukan irigasi sampai air keluar dari luka menjadi bening.
23. Keringkan luka dengan kain kasa steril.
24. Setelah bersih, kompres dengan kain kasa lembab dan tutup dengan kasa kering.
25. Buka sarung tangan.
26. Rekatkan dengan plester, kembalikan posisi yang nyaman.
27. Rapikan alat-alat dan kembalikan ke tempatnya.
28. Cuci tangan.
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh api, dan oleh penyebab lain dengan akibat serangan. Dapat juga disebabkan oleh air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi.
Tujuan:
1. Untuk menentukan kedalaman luka bakar.
2. Untuk memberikan suportif atau resusitatif awal pada pasien dengan luka bakar.
Indikasi:
Luka bakar akibat listrik, bahan kimia, sengatan atau panas.
Persiapan Alat:
1. Sarung tangan bersih.
2. Sarung tangan steril.
3. Set steril.
- Kain kasa ukuran 4x4.
- Instrumen bak/bengkok.
- Duk steril.
- Kom kecil.
- Gunting.
- Pinset dan arteri klem.
4. Cairan NaCl 0,9%.
5. Spuit steril.
6. Gown bersih/celemek.
7. Pinset bersih.
8. Pengalas atau under pad.
9. Plester.
10. Tempat sampah.
11. Selimut ekstra (bila perlu).
Cara Kerja:
1. Jelaskan kepada klien prosedur dan tujuan mengganti luka.
2. Kaji skala nyeri, berikan obat analgesik 30 menit sebelum melakukan prosedur.
3. Bawa alat ke dekat pasien dan anjurkan kepada klien agar tidak menyentuh alat selama melakukan prosedur.
4. Jaga privasi klien.
5. Atur posisi klien yang nyaman dan tutup klien dengan selimut ekstra.
6. Letakkan alat-alat dekat dengan pasien.
7. Pasang under pad di bawah area yang ada luka.
8. Buka selimut dan baju klien sehingga bagian yang luka kelihatan.
9. Tempatkan bengkok di bawah luka.
10. Cuci tangan selama 1 menit dan pakai sarung tangan bersih.
11. Angkat balutan yang lama bagian luar dengan pinset bersih dan tinggalkan verban bagian dalam.
12. Nilai luka seperti jaringan granulasi, dehiscence, inflamasi serta karakter luka seperti: warna dan bau.
13. Nilai kulit sekitar luka: ekskoreasi, rednes, dan inflamasi.
14. Buka sarung tangan dan cuci tangan selama 3 menit.
15. Siapkan area steril.
16. Buka set balutan dan tuangkan cairan steril ke dalam kom kecil.
17. Buka bungkus spuit 20-50 cc, letakkan di area steril tanpa menyentuh area tersebut.
18. Pakai sarung tangan steril.
19. Peras kain kasa dan tempatkan pada bak instrument.
20. Isi cairan spuit.
21. Pasang duk steril di sekitar luka dan angkat balutan luka bagian dalam dengan pinset steril secara hati-hati lalu buang ke bengkok. Apabila balutan sukar diangkat, katakan kepada klien bahwa kondisi ini akan membuat anda tidak nyaman atau nyeri, jangan dituangkan cairan karena akan merusak jaringan pada saat verban diangkat.
22. Dekatkan spuit yang berisi cairan ke luka dan semprotkan secara hati-hati mulai dari permukaan luka sampai ke bagian yang dalam. Lakukan sampai cairan habis atau cairan yang keluar dari luka menjadi bening. Inspeksi luka, bila ada jaringan nekrose lakukan nekrotomi dengan mengangkat jaringan nekrotik, lalu bersihkan dengan kain kasa yang telah dilembabkan. Bersihkan luka dengan kain kasa 2x2 yang lembab mulai dari daerah tengah ke pinggir luar. Apabila lukanya dalam, ganti ujung spuit dengan kateter yang lembut dan masukkan ke dalam luka, lalu lakukan irigasi sampai air keluar dari luka menjadi bening.
23. Keringkan luka dengan kain kasa steril.
24. Setelah bersih, kompres dengan kain kasa lembab dan tutup dengan kasa kering.
25. Buka sarung tangan.
26. Rekatkan dengan plester, kembalikan posisi yang nyaman.
27. Rapikan alat-alat dan kembalikan ke tempatnya.
28. Cuci tangan.
Label:
TINDAKAN KEPERAWATAN
PERAWATAN KOLOSTOMI
Tujuan Umum:
Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta dapat melakukan perawatan kolostomi dengan benar.
Tujuan Khusus:
Setelah mengikuti pelatihan peserta diharapkan mampu:
1. Menjelaskan tujuan pembuatan kolostomi.
2. Menyebutkan tipe-tipe kolostomi dan menentukan lokasi tiap tipe kolostomi dan konsistensi keluaran.
3. Menjelaskan tujuan manajemen keperawatan kolostomi.
4. Mengimplementasikan tehnik keperawatan kolostomi:
- Observasi stoma dan peristoma.
- Perawatan kulit peristoma.
- Seleksi kantong stoma.
- Cara mengosongkan kantong stoma.
Pendahuluan
A. Kolostomi adalah pembuatan lubang dari kolon ke permukaan abdomen. Feses keluar melalui stoma dengan aksi peristaltik. Berhubung karena stoma tidak mempunyai spincter, maka flatus dan feses keluar tidak terkontrol. Stoma yang normal adalah segar, lembab, merah mengkilap, sama dengan mukosa bibir. Lokasi stoma bisa dimana saja ditentukan oleh lesi kolon seperti : sekum, tranverse, dan sigmoid.
Ada beberapa tipe kolostomi:
1. Permanent Kolostomi (Singgle Bariel), yaitu jika sebagian dari kolon diangkat karena tumor, obstruksi atau karena proses suatu penyakit seperti chron disease atau paraplegi.
2. Temporari Kolostomi (Double Bariel), adalah mengalihkan pengeluaran feses sementara untuk penyembuhan setelah infeksi atau reseksi sebagian kolon, kemudian disambung lagi dengan reanastomose dan pasien dapat buang air besar normal kembali. Lokasi stoma untuk sigmoid umumnya dipertengahan antara lipatan paha dan garis pinggang serta pertengahan garis tengah abdomen sebelah kiri. Lokasi yang sama tapi sebelah kanan umumnya adalah lokasi untuk stoma kolon assenden. Keluaran dari stoma sigmoid maupun stoma assenden dari semi solid sampai solid.
B. Ileostomi adalah pembuatan lubang dari ileum ke permukaan abdomen. Prosedur ini dilakukan apabila seluruh kolon harus diangkat atau bypass karena suatu penyakit seperti kanker, ulserative colitis, atau chron disease. Keluarannya biasanya cairan yang kaya akan enzim pencernaan. Lokasi stoma umumnya bagian kanan, dibawah pinggang.
C. Continent Ileostomi adalah alternatif untuk membuat intussusception yaitu berupa kantong ileum dibawah dinding abdomen dan dibuat klep untuk mencegah drainage effluent dengan cara memasukkan kateter ke dalam stoma untuk mengeluarkan effluent secara teratur. Prosedur ini disebut “Koch Pouch”
Pengkajian:
1. Tentukan tipe kolostomi pasien.
2. Kaji alasan dilakukan kolostomi.
3. Tanyakan apakah pasien mengerti cara perawatan stoma.
4. Observasi respon pasien baik verbal maupun non verbal saat diskusi tentang stoma.
5. Kaji warna, size, kelembaban, dan intact jahitan luka stoma.
6. Inspeksi peristoma apakah ada kemerahan, area yang teriritasi, dan abnormal lainnya.
Diagnosa Keperawatan:
1. Perilaku mencari tenaga kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang merawat stoma.
2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sering terekspos dengan keluaran dari stoma.
3. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh.
4. Konstipasi atau diare berhubungan dengan perubahan pola eliminasi.
Perencanaan:
1. Peristoma intact tidak ada kemerahan, iritasi, dan erosi.
2. Tidak ada kebocoran di sekitar stoma.
3. Kantong stoma hanya terisi separuh kantong setiap saat.
4. Kantong stoma terhindar dari bau.
5. Perawat/care giver/pasien dapat mendemonstrasikan cara perawatan kolostomi.
Persiapan Alat:
1. Cairan skin barrier.
2. Pasta barrier.
3. Kantong kolostomi, clear drainable colostomy/ileostomy dengan ukuran yang tepat untuk two-piece dengan klem system atau one piece yang ada skin barrier.
4. Bensin wash.
5. Sarung tangan bersih.
6. Ostomy deodorant (pewangi ruangan).
7. Kapas lembab.
8. Pengalas (under pad).
9. Baskom dengan air hangat.
10. Gunting kolostomi.
11. Plester atau ostomy belt.
12. Kolostomi guide.
13. Powder kolostomi (bagi klien yang iritasi kulit).
14. Kantong sampah.
15. Near beken.
16. Kom.
17. Spidol.
Cara Kerja:
1. Atur posisi pasien supine atau berdiri.
2. Cuci tangan dan pakai sarung tangan bersih.
3. Pasang pengalas (under pad).
4. Angkat kantong kolostomi lama dengan menekan kulit sekitar kolostomi, gunakan bensin wash untuk mempermudah dan letakkan ke kantong sampah.
5. Bersihkan peristoma secara hati-hati dengan menggunakan kapas lembab lalu dikeringkan dengan tissue.
6. Gunting lubang kantong kolostomi baru dengan menggunakan kolostomi guide (1/16-1/8 inc lebih besar dari lubang kolostomi) sebelum membuka plastik penutup perekat kantong/face plate.
7. Pasang skin barrier dan kantong, apabila kulit ada yang tidak rata beri pasta kolostomi dan tunggu sampai kering 1-2 menit sebelum dipasang kantong kolostomi.
8. Tekan pinggir kantong kolostomi dengan telunjuk secara pelan.
9. Jika kantong kolostomi telah terpasang dengan baik letakkan tangan perawat diatas kolostomi selama 2 menit untuk meyakinkan bahwa kantong terpasang dengan benar.
10. Pasang belt kolostomi atau plester non allergic.
11. Rapikan alat-alat dan semprot ruangan dengan deodorant kolostomi (pewangi ruangan).
12. Buka sarung tangan dan cuci tangan.
13. Kantong kolostomi dapat dipertahankan 3-7 hari serta dapat dipakai saat mandi dan setelah mandi dan keringkan dengan baik.
14. Dokumentasikan.
Evaluasi:
1. Tidak ada kemerahan, iritasi, erosi, dan gangguan kulit sekitar peristoma.
2. Sekitar stoma bebas dari kebocoran.
3. Kantong stoma hanya berisi setengah oleh feses dan bebas dari flatus (tidak kembung).
4. Bebas bau dari kantong stoma.
5. Pasien dapat merawat stoma secara mandiri.
Dokumentasi:
1. Penampilan dari stoma, kulit peristoma, karakter keluaran dari stoma.
2. Dokumentasikan respon pasien terhadap stoma.
3. Laporkan proses pembelajaran dalam merawat stoma secara mandiri.
Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta dapat melakukan perawatan kolostomi dengan benar.
Tujuan Khusus:
Setelah mengikuti pelatihan peserta diharapkan mampu:
1. Menjelaskan tujuan pembuatan kolostomi.
2. Menyebutkan tipe-tipe kolostomi dan menentukan lokasi tiap tipe kolostomi dan konsistensi keluaran.
3. Menjelaskan tujuan manajemen keperawatan kolostomi.
4. Mengimplementasikan tehnik keperawatan kolostomi:
- Observasi stoma dan peristoma.
- Perawatan kulit peristoma.
- Seleksi kantong stoma.
- Cara mengosongkan kantong stoma.
Pendahuluan
A. Kolostomi adalah pembuatan lubang dari kolon ke permukaan abdomen. Feses keluar melalui stoma dengan aksi peristaltik. Berhubung karena stoma tidak mempunyai spincter, maka flatus dan feses keluar tidak terkontrol. Stoma yang normal adalah segar, lembab, merah mengkilap, sama dengan mukosa bibir. Lokasi stoma bisa dimana saja ditentukan oleh lesi kolon seperti : sekum, tranverse, dan sigmoid.
Ada beberapa tipe kolostomi:
1. Permanent Kolostomi (Singgle Bariel), yaitu jika sebagian dari kolon diangkat karena tumor, obstruksi atau karena proses suatu penyakit seperti chron disease atau paraplegi.
2. Temporari Kolostomi (Double Bariel), adalah mengalihkan pengeluaran feses sementara untuk penyembuhan setelah infeksi atau reseksi sebagian kolon, kemudian disambung lagi dengan reanastomose dan pasien dapat buang air besar normal kembali. Lokasi stoma untuk sigmoid umumnya dipertengahan antara lipatan paha dan garis pinggang serta pertengahan garis tengah abdomen sebelah kiri. Lokasi yang sama tapi sebelah kanan umumnya adalah lokasi untuk stoma kolon assenden. Keluaran dari stoma sigmoid maupun stoma assenden dari semi solid sampai solid.
B. Ileostomi adalah pembuatan lubang dari ileum ke permukaan abdomen. Prosedur ini dilakukan apabila seluruh kolon harus diangkat atau bypass karena suatu penyakit seperti kanker, ulserative colitis, atau chron disease. Keluarannya biasanya cairan yang kaya akan enzim pencernaan. Lokasi stoma umumnya bagian kanan, dibawah pinggang.
C. Continent Ileostomi adalah alternatif untuk membuat intussusception yaitu berupa kantong ileum dibawah dinding abdomen dan dibuat klep untuk mencegah drainage effluent dengan cara memasukkan kateter ke dalam stoma untuk mengeluarkan effluent secara teratur. Prosedur ini disebut “Koch Pouch”
Pengkajian:
1. Tentukan tipe kolostomi pasien.
2. Kaji alasan dilakukan kolostomi.
3. Tanyakan apakah pasien mengerti cara perawatan stoma.
4. Observasi respon pasien baik verbal maupun non verbal saat diskusi tentang stoma.
5. Kaji warna, size, kelembaban, dan intact jahitan luka stoma.
6. Inspeksi peristoma apakah ada kemerahan, area yang teriritasi, dan abnormal lainnya.
Diagnosa Keperawatan:
1. Perilaku mencari tenaga kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang merawat stoma.
2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sering terekspos dengan keluaran dari stoma.
3. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh.
4. Konstipasi atau diare berhubungan dengan perubahan pola eliminasi.
Perencanaan:
1. Peristoma intact tidak ada kemerahan, iritasi, dan erosi.
2. Tidak ada kebocoran di sekitar stoma.
3. Kantong stoma hanya terisi separuh kantong setiap saat.
4. Kantong stoma terhindar dari bau.
5. Perawat/care giver/pasien dapat mendemonstrasikan cara perawatan kolostomi.
Persiapan Alat:
1. Cairan skin barrier.
2. Pasta barrier.
3. Kantong kolostomi, clear drainable colostomy/ileostomy dengan ukuran yang tepat untuk two-piece dengan klem system atau one piece yang ada skin barrier.
4. Bensin wash.
5. Sarung tangan bersih.
6. Ostomy deodorant (pewangi ruangan).
7. Kapas lembab.
8. Pengalas (under pad).
9. Baskom dengan air hangat.
10. Gunting kolostomi.
11. Plester atau ostomy belt.
12. Kolostomi guide.
13. Powder kolostomi (bagi klien yang iritasi kulit).
14. Kantong sampah.
15. Near beken.
16. Kom.
17. Spidol.
Cara Kerja:
1. Atur posisi pasien supine atau berdiri.
2. Cuci tangan dan pakai sarung tangan bersih.
3. Pasang pengalas (under pad).
4. Angkat kantong kolostomi lama dengan menekan kulit sekitar kolostomi, gunakan bensin wash untuk mempermudah dan letakkan ke kantong sampah.
5. Bersihkan peristoma secara hati-hati dengan menggunakan kapas lembab lalu dikeringkan dengan tissue.
6. Gunting lubang kantong kolostomi baru dengan menggunakan kolostomi guide (1/16-1/8 inc lebih besar dari lubang kolostomi) sebelum membuka plastik penutup perekat kantong/face plate.
7. Pasang skin barrier dan kantong, apabila kulit ada yang tidak rata beri pasta kolostomi dan tunggu sampai kering 1-2 menit sebelum dipasang kantong kolostomi.
8. Tekan pinggir kantong kolostomi dengan telunjuk secara pelan.
9. Jika kantong kolostomi telah terpasang dengan baik letakkan tangan perawat diatas kolostomi selama 2 menit untuk meyakinkan bahwa kantong terpasang dengan benar.
10. Pasang belt kolostomi atau plester non allergic.
11. Rapikan alat-alat dan semprot ruangan dengan deodorant kolostomi (pewangi ruangan).
12. Buka sarung tangan dan cuci tangan.
13. Kantong kolostomi dapat dipertahankan 3-7 hari serta dapat dipakai saat mandi dan setelah mandi dan keringkan dengan baik.
14. Dokumentasikan.
Evaluasi:
1. Tidak ada kemerahan, iritasi, erosi, dan gangguan kulit sekitar peristoma.
2. Sekitar stoma bebas dari kebocoran.
3. Kantong stoma hanya berisi setengah oleh feses dan bebas dari flatus (tidak kembung).
4. Bebas bau dari kantong stoma.
5. Pasien dapat merawat stoma secara mandiri.
Dokumentasi:
1. Penampilan dari stoma, kulit peristoma, karakter keluaran dari stoma.
2. Dokumentasikan respon pasien terhadap stoma.
3. Laporkan proses pembelajaran dalam merawat stoma secara mandiri.
Label:
TINDAKAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN GLOMERULONEFRITIS DAN PIELONEFRITIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M. Nettina, 2001).
Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).
Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Willson, 2005).
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan gejalanya adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah kostovertebral, leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar. 5%-10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Perbandingannya penyakit ini pada perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan glomerulonefritis dan pielonefritis.
2. Tujuan Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. GLOMERULONEFRITIS
1. Pengertian
Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).
Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).
Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner & Suddarth, 2001).
2. Etiologi
a. Kuman streptococcus.
b. Berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
(Sandra M. Nettina,2001).
3. Manifestasi Klinis
a. Faringitis atau tansiktis.
b. Demam.
c. Sakit kepala.
d. Malaise.
e. Nyeri panggul.
f. Hipertensi.
g. Anoreksia.
h. Muntah.
i. Edema akut.
j. Oliguria, proteinuria, dan urine berwarna cokelat.
(Sandra M. Nettina, 2001).
4. Patofisiologi
Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus). Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak dan kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis sampai interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen, menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M. Nettina, 2001).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis (UA).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG).
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum.
d. Pielogram intravena (PIV).
e. Biopsi ginjal.
f. Titer antistrepsomisin O (ASO).
(Sandra M. Nettina, 2001).
6. Penatalaksanaan
a. Manifestasi diet:
- Pembatasan cairan dan natrium.
- Pembatasan protein bila BUN sangat meningkat.
b. Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis progresif cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
- Dialisis, untuk penyakit ginjal tahap akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).
7. Komplikasi
a. Hipertensi.
b. Dekopensasi jantung.
c. GGA (Gagal Ginjal Akut).
(Sandra M. Nettina, 2001).
B. PIELONEFRITIS
1. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).
2. Etiologi
a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).
b. Obstruksi urinari track.
c. Refluks.
d. Kehamilan.
e. Kencing manis.
f. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.
(Barbara Engram, 1988).
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).
4. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa, dan Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut, E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratik dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Whole Blood.
b. Urinalisis.
c. USG dan Radiologi.
d. BUN.
e. Kreatinin.
f. Serum Selectrolytes.
(Barbara Engram, 1988).
6. Komplikasi
a. Nekrosis papila ginjal.
b. Fionefrosis.
c. Abses perinefrit.
(Barbara Engram, 1988).
7. Penatalaksanaan
a. Terapi antimikroba spesifik organisme:
- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian disesuaikan berdasarkan hasil kultur urine.
- Pengobatan dilakukan 2 minggu atau lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien tidak dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati abses renal atau abses perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.
2. Kardivaskular : hipertensi.
3. Neurologis : letargi, iritabilitas, kejang.
4. Gastrointestinal : anoreksia, azotemia, hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia) berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria Hasil : - Pasien bisa berkemih secara normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
- Ukur dan catat urine setiap kali berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/output.
- Anjurkan untuk berkemih setiap 2-3 jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
- Palpasi kandung kemih setiap 4 jam.
Rasional : Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
- Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.
3. Nyeri berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : Nyeri berkurang atau tidak ada.
Kriteria Hasil : - Klien menunjukkan wajah yang rileks.
- Infeksi bisa diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional : Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.
- Berikan waktu istirahat yang cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Untuk membantu klien dalam berkemih.
- Berikan analgesik sesuai dengan program terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. EGC. Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M. Nettina, 2001).
Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).
Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Willson, 2005).
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan gejalanya adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah kostovertebral, leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar. 5%-10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Perbandingannya penyakit ini pada perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan glomerulonefritis dan pielonefritis.
2. Tujuan Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. GLOMERULONEFRITIS
1. Pengertian
Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).
Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).
Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner & Suddarth, 2001).
2. Etiologi
a. Kuman streptococcus.
b. Berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
(Sandra M. Nettina,2001).
3. Manifestasi Klinis
a. Faringitis atau tansiktis.
b. Demam.
c. Sakit kepala.
d. Malaise.
e. Nyeri panggul.
f. Hipertensi.
g. Anoreksia.
h. Muntah.
i. Edema akut.
j. Oliguria, proteinuria, dan urine berwarna cokelat.
(Sandra M. Nettina, 2001).
4. Patofisiologi
Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus). Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak dan kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis sampai interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen, menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M. Nettina, 2001).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis (UA).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG).
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum.
d. Pielogram intravena (PIV).
e. Biopsi ginjal.
f. Titer antistrepsomisin O (ASO).
(Sandra M. Nettina, 2001).
6. Penatalaksanaan
a. Manifestasi diet:
- Pembatasan cairan dan natrium.
- Pembatasan protein bila BUN sangat meningkat.
b. Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis progresif cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
- Dialisis, untuk penyakit ginjal tahap akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).
7. Komplikasi
a. Hipertensi.
b. Dekopensasi jantung.
c. GGA (Gagal Ginjal Akut).
(Sandra M. Nettina, 2001).
B. PIELONEFRITIS
1. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).
2. Etiologi
a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).
b. Obstruksi urinari track.
c. Refluks.
d. Kehamilan.
e. Kencing manis.
f. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.
(Barbara Engram, 1988).
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).
4. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa, dan Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut, E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratik dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Whole Blood.
b. Urinalisis.
c. USG dan Radiologi.
d. BUN.
e. Kreatinin.
f. Serum Selectrolytes.
(Barbara Engram, 1988).
6. Komplikasi
a. Nekrosis papila ginjal.
b. Fionefrosis.
c. Abses perinefrit.
(Barbara Engram, 1988).
7. Penatalaksanaan
a. Terapi antimikroba spesifik organisme:
- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian disesuaikan berdasarkan hasil kultur urine.
- Pengobatan dilakukan 2 minggu atau lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien tidak dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati abses renal atau abses perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.
2. Kardivaskular : hipertensi.
3. Neurologis : letargi, iritabilitas, kejang.
4. Gastrointestinal : anoreksia, azotemia, hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia) berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria Hasil : - Pasien bisa berkemih secara normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
- Ukur dan catat urine setiap kali berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/output.
- Anjurkan untuk berkemih setiap 2-3 jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
- Palpasi kandung kemih setiap 4 jam.
Rasional : Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
- Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.
3. Nyeri berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : Nyeri berkurang atau tidak ada.
Kriteria Hasil : - Klien menunjukkan wajah yang rileks.
- Infeksi bisa diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional : Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.
- Berikan waktu istirahat yang cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Untuk membantu klien dalam berkemih.
- Berikan analgesik sesuai dengan program terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. EGC. Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta
Label:
ASKEP SISTEM PERKEMIHAN
Selasa, 25 Januari 2011
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS TETANUS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka (Arjatmo, 1996).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh clostridium tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia (Hasan, Rusepno, 1989).
Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun 1882 Nicolailer dan Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini ditemukan oleh bakteri. Kemudian tahun 1889 oleh Kitasono dan Nicolailer, kuman Cl. Tetani dan toksinnya dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasono melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan anti serum spesifik yang merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Berdasarkan insiden yang terjadi di atas, kami tertarik untuk mengangkat kasus tetanus sehingga akan meningkatkan pemahaman kita semua, khususnya kelompok mengenai tetanus.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mampu memahami dan menjelaskan konsep teori dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien tetanus.
2. Tujuan Khusus
a. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi tetanus.
b. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi tetanus.
c. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi tetanus.
d. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala klinis tetanus.
e. Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien tetanus.
f. Agar mampu menegakkan diagnosis pada pasien tetanus.
g. Agar mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien tetanus.
h. Agar mampu melakukan implementasi pada pasien tetanus.
i. Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien tetanus.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejng otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman anaerob clostridium tetani (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan (Arjatmo, 1996).
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Cl. Tetani (Mansjoer, 2000).
B. ETIOLOGI
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat murni. Kuman ini mudah dikenal karena berbentuk spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau rekek squash.
Spora Cl. Tetani dapat bertahan bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau di debu. Tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 °C, dan bahkan pada otoklaf 120 °C selama 15-20 menit. Dari berbagai study yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
C. PATOFISIOLOGI
Tetanus
Clostridium
Luka tusuk Luka tabrakan Luka goresan
Perawatan luka yang kurang baik
Toksin diabsorbsi di ujung saraf motorik Toksin bersifat
dan susunan limfatik antigen
Masuk ke dalam sirkulasi darah Arteri
Kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat
Perubahan marfologi
Pembengkakan sel-sel ganglion motorik yang
berhubungan dengan pembengkakan dengan
liris inti sel
(Arjatmo, 1996).
D. GEJALA KLINIS
Masa tunas biasanya 5-14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kuduk kaku sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dari abdomen akut).
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi).
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku, dan tangan menggepal kuat. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium:
1. Trismus (3cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1cm) dengan kejang tonik umum spontan.
E. KOMPLIKASI
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia.
3. Ateleksasi karena obstruksi oleh secret.
4. Fractural kompresi.
F. PENATALAKSANAAN
1. Umum
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya.
- Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde parenteral.
- Isolasi untuk menghindari rangsangan luar seperti suara dan tindakan terhadap pasien.
- Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan
- Antitoksin
Tetanus immunoglobulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Dosis inisial TIG yang dianjurkan adalah 5000 U intramuscular yang dianjurkan dengan dosis harian 500-6000 U. bila pemberian TIG tidak memungkinkan ATS dapat diberikan dengan dosis 5000 U intramuscular dan 5000 U intravena. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
- Anti Kejang
Obat Efek Samping
Diazepam Stupor, koma
Meprobomat Tidak ada
Klorpromazine Hipertensi
Fenobarbital Depresi
Intramuscular Pernafasan
G. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Mencegah terjadinya luka.
2. Merawat luka secara adekuat.
3. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka, akan memberikan kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuscular setelah dilakukan tes kulit.
4. Di Negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian tolsoid dan TIG.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medis, rencana terapi.
2. Keluhan utama/alasan masuk RS.
3. Riwayat kesehatan.
- Riwayat kesehatan sekarang.
- Riwayat kesehatan masa lalu.
- Riwayat kesehatan keluarga.
4. Riwayat imunisasi.
5. Riwayat tumbuh kembang.
6. Riwayat nutrisi.
7. Riwayat psikososial.
8. Riwayat spiritual.
9. Riwayat hospitalisasi.
10. Riwayat aktivitas sehari-hari.
11. Pemeriksaan fisik.
- Keadaan umum klien.
- Tanda-tanda vital.
- Atropometri.
- Sistem pernafasan.
- Sistem cardiovascular.
- System integument.
- Sistem pencernaan.
- Sistem indra.
- Sistem perkemihan.
- Sistem endokrin.
- Sistem reproduksi.
- Sistem imun.
- Sistem musculoskeletal.
- Sistem saraf : fungsi serebral, fungsi cranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi serebelum, fungsi reflex, fungsi iritasi meningen.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan ditandai dengan susah bernafas, sesak, apnea.
Tujuan : Pola nafas pasien kembali normal atau pasien dapat
mempertahankan pola nafas efektif.
Kriteria Hasil : semua hal yang terkait dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Pantau frekuensi dan irama serta kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan adanya komplikasi, pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luar keterlibatan otot pernafasan lambat periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi.
- Catat kompetensi reflex gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri, pasang alat bantu pernafasan sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan mobilisasi atau memberikan sekresi penting untuk memelihara jalan nafas, kehilangan reflex menelan, atau batuk menandakan perlunya jalan nafas buatan/intubasisal.
- Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring, sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan penurunan kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.
- Anjurkan pasien untuk bernafas dalam yang efektif jika pasien sadar serta berikan oksigen.
Rasional : Pencegahan atau penurunan atelektasis serta memaksimalkan O2 pada darah arteri dan membantu mencegah hipoksia.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan dan membuka mulut ditandai dengan BB menurun, sukar menelan, kaku otot wajah.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi dan adekuat.
Kriteria Hasil : Pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan menunjukkan peningkatan BB yang memuaskan.
Intervensi:
- Beri makan melalui NGT sesuai dengan ketentuan.
Rasional : Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian oral memungkinkan.
- Pantau pemasukan dan BB.
Rasional : Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
- Beri cairan/nutrisi parenteral, sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin perlu untuk mengatasi dehidrasi, menggantikan kehilangan cairan dan memberikan nutrisi yang perlu bila masukan oral dibatasi.
- Konsul dengan ahli diet.
Rasional : Bermanfaaat dalam menyusun rencana/kebutuhan diet individu.
3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan pusing, sakit kepala, sesak, TD: 90/70 mmHg, Temp: 35 ºC.
Tujuan : : Perfusi jaringan kembali normal.
Kriteria hasil : Semua hal yang berkaitan dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan perubahan perfusi jaringan otak dan potensial potetik.
Rasional : Menentukan pilihan intervensi.
- Pantau dan catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya dengan koma glasgow).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP, serta menentukan tingkat kesadaran.
- Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Menentukan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral tekanan peningkatan dan terbentuknya edema.
- Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
Rasional : Dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
- Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti masasse punggung dan sebagainya.
Rasional : Meningkatkan efek ketegangan, menurunkan reaksi tubuh, meningkatkan istirahat untuk memelihara atau menurunkan TIK.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Hasan, Rusepno, 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta.
Sjamsuhidayat, dkk. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Tjokronegoro, Arjotmo, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka (Arjatmo, 1996).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh clostridium tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia (Hasan, Rusepno, 1989).
Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun 1882 Nicolailer dan Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini ditemukan oleh bakteri. Kemudian tahun 1889 oleh Kitasono dan Nicolailer, kuman Cl. Tetani dan toksinnya dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasono melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan anti serum spesifik yang merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Berdasarkan insiden yang terjadi di atas, kami tertarik untuk mengangkat kasus tetanus sehingga akan meningkatkan pemahaman kita semua, khususnya kelompok mengenai tetanus.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mampu memahami dan menjelaskan konsep teori dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien tetanus.
2. Tujuan Khusus
a. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi tetanus.
b. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi tetanus.
c. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi tetanus.
d. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala klinis tetanus.
e. Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien tetanus.
f. Agar mampu menegakkan diagnosis pada pasien tetanus.
g. Agar mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien tetanus.
h. Agar mampu melakukan implementasi pada pasien tetanus.
i. Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien tetanus.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejng otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman anaerob clostridium tetani (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan (Arjatmo, 1996).
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Cl. Tetani (Mansjoer, 2000).
B. ETIOLOGI
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat murni. Kuman ini mudah dikenal karena berbentuk spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau rekek squash.
Spora Cl. Tetani dapat bertahan bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau di debu. Tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 °C, dan bahkan pada otoklaf 120 °C selama 15-20 menit. Dari berbagai study yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
C. PATOFISIOLOGI
Tetanus
Clostridium
Luka tusuk Luka tabrakan Luka goresan
Perawatan luka yang kurang baik
Toksin diabsorbsi di ujung saraf motorik Toksin bersifat
dan susunan limfatik antigen
Masuk ke dalam sirkulasi darah Arteri
Kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat
Perubahan marfologi
Pembengkakan sel-sel ganglion motorik yang
berhubungan dengan pembengkakan dengan
liris inti sel
(Arjatmo, 1996).
D. GEJALA KLINIS
Masa tunas biasanya 5-14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kuduk kaku sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dari abdomen akut).
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi).
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku, dan tangan menggepal kuat. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium:
1. Trismus (3cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1cm) dengan kejang tonik umum spontan.
E. KOMPLIKASI
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia.
3. Ateleksasi karena obstruksi oleh secret.
4. Fractural kompresi.
F. PENATALAKSANAAN
1. Umum
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya.
- Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde parenteral.
- Isolasi untuk menghindari rangsangan luar seperti suara dan tindakan terhadap pasien.
- Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan
- Antitoksin
Tetanus immunoglobulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Dosis inisial TIG yang dianjurkan adalah 5000 U intramuscular yang dianjurkan dengan dosis harian 500-6000 U. bila pemberian TIG tidak memungkinkan ATS dapat diberikan dengan dosis 5000 U intramuscular dan 5000 U intravena. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
- Anti Kejang
Obat Efek Samping
Diazepam Stupor, koma
Meprobomat Tidak ada
Klorpromazine Hipertensi
Fenobarbital Depresi
Intramuscular Pernafasan
G. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Mencegah terjadinya luka.
2. Merawat luka secara adekuat.
3. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka, akan memberikan kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuscular setelah dilakukan tes kulit.
4. Di Negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian tolsoid dan TIG.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medis, rencana terapi.
2. Keluhan utama/alasan masuk RS.
3. Riwayat kesehatan.
- Riwayat kesehatan sekarang.
- Riwayat kesehatan masa lalu.
- Riwayat kesehatan keluarga.
4. Riwayat imunisasi.
5. Riwayat tumbuh kembang.
6. Riwayat nutrisi.
7. Riwayat psikososial.
8. Riwayat spiritual.
9. Riwayat hospitalisasi.
10. Riwayat aktivitas sehari-hari.
11. Pemeriksaan fisik.
- Keadaan umum klien.
- Tanda-tanda vital.
- Atropometri.
- Sistem pernafasan.
- Sistem cardiovascular.
- System integument.
- Sistem pencernaan.
- Sistem indra.
- Sistem perkemihan.
- Sistem endokrin.
- Sistem reproduksi.
- Sistem imun.
- Sistem musculoskeletal.
- Sistem saraf : fungsi serebral, fungsi cranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi serebelum, fungsi reflex, fungsi iritasi meningen.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan ditandai dengan susah bernafas, sesak, apnea.
Tujuan : Pola nafas pasien kembali normal atau pasien dapat
mempertahankan pola nafas efektif.
Kriteria Hasil : semua hal yang terkait dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Pantau frekuensi dan irama serta kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan adanya komplikasi, pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luar keterlibatan otot pernafasan lambat periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi.
- Catat kompetensi reflex gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri, pasang alat bantu pernafasan sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan mobilisasi atau memberikan sekresi penting untuk memelihara jalan nafas, kehilangan reflex menelan, atau batuk menandakan perlunya jalan nafas buatan/intubasisal.
- Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring, sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan penurunan kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.
- Anjurkan pasien untuk bernafas dalam yang efektif jika pasien sadar serta berikan oksigen.
Rasional : Pencegahan atau penurunan atelektasis serta memaksimalkan O2 pada darah arteri dan membantu mencegah hipoksia.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan dan membuka mulut ditandai dengan BB menurun, sukar menelan, kaku otot wajah.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi dan adekuat.
Kriteria Hasil : Pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan menunjukkan peningkatan BB yang memuaskan.
Intervensi:
- Beri makan melalui NGT sesuai dengan ketentuan.
Rasional : Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian oral memungkinkan.
- Pantau pemasukan dan BB.
Rasional : Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
- Beri cairan/nutrisi parenteral, sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin perlu untuk mengatasi dehidrasi, menggantikan kehilangan cairan dan memberikan nutrisi yang perlu bila masukan oral dibatasi.
- Konsul dengan ahli diet.
Rasional : Bermanfaaat dalam menyusun rencana/kebutuhan diet individu.
3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan pusing, sakit kepala, sesak, TD: 90/70 mmHg, Temp: 35 ºC.
Tujuan : : Perfusi jaringan kembali normal.
Kriteria hasil : Semua hal yang berkaitan dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan perubahan perfusi jaringan otak dan potensial potetik.
Rasional : Menentukan pilihan intervensi.
- Pantau dan catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya dengan koma glasgow).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP, serta menentukan tingkat kesadaran.
- Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Menentukan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral tekanan peningkatan dan terbentuknya edema.
- Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
Rasional : Dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
- Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti masasse punggung dan sebagainya.
Rasional : Meningkatkan efek ketegangan, menurunkan reaksi tubuh, meningkatkan istirahat untuk memelihara atau menurunkan TIK.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Hasan, Rusepno, 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta.
Sjamsuhidayat, dkk. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Tjokronegoro, Arjotmo, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta.
ASUHAN KEPERAWATAN SIROSIS HEPATIS
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. PENGERTIAN
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price & Willson, 2005, hal : 493).
Sirosis hepatis adalah penyakit kronik hati yang dikarakteristikkan oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi, gangguan fungsi seluler, dan selanjutnya aliran darah ke hati (Doenges, dkk, 2000, hal: 544).
B. ETIOLOGI
Ada 3 tipe sirosis hepatis :
a. Sirosis portal Laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
b. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
c. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi di dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
1. Etiologi yang diketahui penyebabnya :
- Hepatitis virus B dan C.
- Alcohol.
- Metabolic.
- Kolestasis kronik/sirosis siliar sekunder intra dan ekstra hepatic.
- Obstruksi aliran vena hepatic.
- Gangguan imunologis hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif.
- Toksik dan obat INH, metilpoda.
- Operasi pintas usus halus pada obesitas.
- Malnutrisi, infeksi seperti malaria.
2. Etiologi tanpa diketahui penyebabnya :
- Sirosis yang tidak dikethui penyebabnya dinamakan sirosis kriptogenik/heterogenous.
C. PATOFISIOLOGI
Minuman yang mengandung alkohol, zat kimia
(tetraklorida, naftalon, terklorinasi, arsen atau fosfor)
Adanya kapilerisasi Membentuk ekstraseluler matriks Pembengkakan pada
(ukuran pori seperti yang mengandung kolagen, hati
endotel kapiler) glikoprotein, dan proteglikans
(dibentuk oleh sel stellata)
Terjadinya penekanan pada banyak Mengganggu proses
vena di hati aliran darah ke sel
hati
Hipertensi porta
Sel hati mati
Asites Banyaknya fungsi hati yang
Varises gastrointestinal rusak
Edema gagal hati kronis
D. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula glisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi portal dan asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Pasien juga cenderung menderita dyspepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangi ektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises gastrointestinal. Edema, gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis.
E. KOMPLIKASI
Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka gambaran klinis, prognosis, dan pengobatan tergantung pada 2 kelompok besar komplikasi :
a. Kegagalan hati (hepatoseluler) : timbul spider nevi, eritema Palmaris, atrofi testis, ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll.
b. Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena esophagus/cardia, caput medusa, hemoroid, vena kolateral dinding perut.
Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa :
- Asites.
- Ensefalopati.
- Peritonitis bacterial spontan.
- Sindrom hepatorenal.
- Transformasi kea rah kanker hati primer (hepatoma).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pada darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom mikrosister/hipokrom makrosister.
b. Kenaikan kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
c. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
d. Pemeriksaan CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.
e. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
f. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.
2. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esophagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
b. Esofagoskopi : dapat dilihat varises esophagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal.
c. Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaan rutin pada penyakit hati.
G. PENATALAKSANAAN
Terapi dan prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya komplikasi.
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan control yang teratur, istirahat yang cukup, susunan TKTP.
2. Pasien sirosis hati dengan sebab yang diketahui, seperti : alcohol, dan obat-obatan lain dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alcohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi (desperioxamine). Dilakukan vanaseksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun. Pada penyakit willson (penyakit metabolic yang diturunkan) diberikan D-penicilamine 20 mg/kg BB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum, dan menambah ekskresi melalui urine. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid, pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
a. Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hari dan total cairan 1,5 L/hari. Spirolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hari dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari, bila perlu dikombinasi dengan furosemid.
b. Perdarahan varises esophagus. Pasien dirawat di RS sebagai kasus perdarahan saluran cerna. Pertama melakukan pemangan NGT, disamping melakukan aspirasi cairan lambung. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100 x/menit atau Hb 9 g% dilakukan pemberian dekstrosa/salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali. Dilakukan pemasangan SB tube untuk menghentikan perdarahan varises. Dapat dilakukan skleroterapi sesudah dilakukan endoskopi kalau ternyata perdarahan berasal dari pecahnya varises. Operasi pintas dilakukan pada child AB atau dilakukan transeksi esophagus (operasi Tannerso). Bila tersedia fasilitas dapat dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat probe. Bila tidak tersedia fasilitas diatas, untuk mencegah rebleeding dapat diberikan propanolol.
c. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi factor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma, pemberian neomisin per oral. Pada saat ini sudah mulai dikembangkan transplantasi hati dengan menggunakan bahan Cadaveric Liver.
d. Terapi yang diberikan berupa antibiotic seperti cefotaxime 2 g/8 jam I.V. amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/nefropati hepatic, terapinya adalah imbangan air dan garam diatur dengan ketat, atasi infeksi dengan pemberian antibiotic, dicoba melakukan parasentesis abdominal dengan ekstra hati-hati untuk memperbaiki aliran vena cava, sehingga timbul perbaikan pada curah jantung dan fungsi ginjal.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada sirosis hepatis adalah sebagai berikut:
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan/Kriteria Hasil: Status nutrisi baik.
Intervensi:
- Kaji intake diet, ukur pemasukan diet, timbang BB tiap minggu.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
- Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
- Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan cultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
- Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan makanan lunak.
Rasional : Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan system pencernaan.
- Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional : Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah.
- Berikan obat sesuai dengan indikasi : tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan enzim pencernaan.
Rasional : Hati yang rusak tidak dapat menyimpan vitamin A, B komplek, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia.
- Kolaborasi pemberian antiemetic.
Rasional : Untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan/Kriteria hasil : peningkatan energy dan partisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
- Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
- Berikan suplemen vitamin (A, B komplek, C dan K).
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
- Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat.
Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
- Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan/Kriteria hasil : Integritas kulit baik.
Intervensi :
- Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrient dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
- Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
- Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
- Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C, dkk. (2001). Keperawatan Medikal Bedah 2. Edisi 8. Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Tjokonegoro, dkk. (1996). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta.
Price, Sylvia A, dkk. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta.
Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta.
A. PENGERTIAN
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price & Willson, 2005, hal : 493).
Sirosis hepatis adalah penyakit kronik hati yang dikarakteristikkan oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi, gangguan fungsi seluler, dan selanjutnya aliran darah ke hati (Doenges, dkk, 2000, hal: 544).
B. ETIOLOGI
Ada 3 tipe sirosis hepatis :
a. Sirosis portal Laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
b. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
c. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi di dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
1. Etiologi yang diketahui penyebabnya :
- Hepatitis virus B dan C.
- Alcohol.
- Metabolic.
- Kolestasis kronik/sirosis siliar sekunder intra dan ekstra hepatic.
- Obstruksi aliran vena hepatic.
- Gangguan imunologis hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif.
- Toksik dan obat INH, metilpoda.
- Operasi pintas usus halus pada obesitas.
- Malnutrisi, infeksi seperti malaria.
2. Etiologi tanpa diketahui penyebabnya :
- Sirosis yang tidak dikethui penyebabnya dinamakan sirosis kriptogenik/heterogenous.
C. PATOFISIOLOGI
Minuman yang mengandung alkohol, zat kimia
(tetraklorida, naftalon, terklorinasi, arsen atau fosfor)
Adanya kapilerisasi Membentuk ekstraseluler matriks Pembengkakan pada
(ukuran pori seperti yang mengandung kolagen, hati
endotel kapiler) glikoprotein, dan proteglikans
(dibentuk oleh sel stellata)
Terjadinya penekanan pada banyak Mengganggu proses
vena di hati aliran darah ke sel
hati
Hipertensi porta
Sel hati mati
Asites Banyaknya fungsi hati yang
Varises gastrointestinal rusak
Edema gagal hati kronis
D. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula glisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi portal dan asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Pasien juga cenderung menderita dyspepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangi ektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises gastrointestinal. Edema, gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis.
E. KOMPLIKASI
Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka gambaran klinis, prognosis, dan pengobatan tergantung pada 2 kelompok besar komplikasi :
a. Kegagalan hati (hepatoseluler) : timbul spider nevi, eritema Palmaris, atrofi testis, ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll.
b. Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena esophagus/cardia, caput medusa, hemoroid, vena kolateral dinding perut.
Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa :
- Asites.
- Ensefalopati.
- Peritonitis bacterial spontan.
- Sindrom hepatorenal.
- Transformasi kea rah kanker hati primer (hepatoma).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pada darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom mikrosister/hipokrom makrosister.
b. Kenaikan kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
c. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
d. Pemeriksaan CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.
e. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
f. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.
2. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esophagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
b. Esofagoskopi : dapat dilihat varises esophagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal.
c. Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaan rutin pada penyakit hati.
G. PENATALAKSANAAN
Terapi dan prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya komplikasi.
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan control yang teratur, istirahat yang cukup, susunan TKTP.
2. Pasien sirosis hati dengan sebab yang diketahui, seperti : alcohol, dan obat-obatan lain dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alcohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi (desperioxamine). Dilakukan vanaseksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun. Pada penyakit willson (penyakit metabolic yang diturunkan) diberikan D-penicilamine 20 mg/kg BB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum, dan menambah ekskresi melalui urine. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid, pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.
a. Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hari dan total cairan 1,5 L/hari. Spirolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hari dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari, bila perlu dikombinasi dengan furosemid.
b. Perdarahan varises esophagus. Pasien dirawat di RS sebagai kasus perdarahan saluran cerna. Pertama melakukan pemangan NGT, disamping melakukan aspirasi cairan lambung. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100 x/menit atau Hb 9 g% dilakukan pemberian dekstrosa/salin dan tranfusi darah secukupnya. Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali. Dilakukan pemasangan SB tube untuk menghentikan perdarahan varises. Dapat dilakukan skleroterapi sesudah dilakukan endoskopi kalau ternyata perdarahan berasal dari pecahnya varises. Operasi pintas dilakukan pada child AB atau dilakukan transeksi esophagus (operasi Tannerso). Bila tersedia fasilitas dapat dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat probe. Bila tidak tersedia fasilitas diatas, untuk mencegah rebleeding dapat diberikan propanolol.
c. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi factor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma, pemberian neomisin per oral. Pada saat ini sudah mulai dikembangkan transplantasi hati dengan menggunakan bahan Cadaveric Liver.
d. Terapi yang diberikan berupa antibiotic seperti cefotaxime 2 g/8 jam I.V. amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/nefropati hepatic, terapinya adalah imbangan air dan garam diatur dengan ketat, atasi infeksi dengan pemberian antibiotic, dicoba melakukan parasentesis abdominal dengan ekstra hati-hati untuk memperbaiki aliran vena cava, sehingga timbul perbaikan pada curah jantung dan fungsi ginjal.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada sirosis hepatis adalah sebagai berikut:
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan/Kriteria Hasil: Status nutrisi baik.
Intervensi:
- Kaji intake diet, ukur pemasukan diet, timbang BB tiap minggu.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
- Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
- Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan cultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
- Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan makanan lunak.
Rasional : Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan system pencernaan.
- Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional : Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah.
- Berikan obat sesuai dengan indikasi : tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan enzim pencernaan.
Rasional : Hati yang rusak tidak dapat menyimpan vitamin A, B komplek, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia.
- Kolaborasi pemberian antiemetic.
Rasional : Untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan/Kriteria hasil : peningkatan energy dan partisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
- Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
- Berikan suplemen vitamin (A, B komplek, C dan K).
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
- Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat.
Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
- Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan/Kriteria hasil : Integritas kulit baik.
Intervensi :
- Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrient dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
- Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
- Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
- Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C, dkk. (2001). Keperawatan Medikal Bedah 2. Edisi 8. Jakarta.
Doenges, Marilynn E, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Tjokonegoro, dkk. (1996). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta.
Price, Sylvia A, dkk. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta.
Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. FKUI. Jakarta.
Asuhan Keperawatan Anak dengan Asma Bronchial
A. Pengertian
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakheobronkhial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trachea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangandengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
1. Faktor Predisposisi
- Genetik
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
2. Faktor Presipitasi
- Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh: perhiasan, logam, dan jam tangan.
- Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.
- Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
- Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap penctus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
D. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal reaksi alergi. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkhiolus berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkhiolus. Bronkhiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi hanya sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal in dapat menyebabkan barrel chest.
E. Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik: sesak nafas, mengi (wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala yang timbul makin banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada, takikardi, dan pernafasan cepat-dangkal. Serangan asma sering terjadi pada malam hari.
F. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
G. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronkhial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera
2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai penyakit asma. Meliputi pengobatan dan perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawat.
- Pengobatan
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1) Pengobatan non farmakologik
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisioterapi
e. Beri O₂ bila perlu
2) Pengobatan farmakologik
- Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
a. Simpatomimetik/andrenergik (adrenalin dan efedrin)
Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), fenoterol (berotec), terbutalin (bricasma).
b. Santin (teofilin)
Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard), Teofilin (Amilex)
Penderita dengan penyakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.
- Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian 1 bulan.
- Ketolifen
Mempunya efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dosis 2 kali 1 mg/hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan secara oral.
H. Pencegahan Serangan Asma pada Anak
1. Menghindari pencetus
Cara menghindari berbagai pencetus serangan pada asma perlu diketahui dan diajarkan pada keluarganya yang sering menjadi faktor pencetus adalah debu rumah. Untuk menghindari pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak:
- Sprei, tirai, selimut minimal dicuci 2 minggu sekali. Sprei dan sarung bantal lebih sering. Lebih baik tidak menggunakan karpet di kamar tidur atau tempat bermain anak. Jangan memelihara binatang.
- Untuk menghindari penyebab dari makanan bila belum tau pasti, lebih baik jangan makan coklat, kacang tanah atau makanan yang mengandung es, dan makanan yang mengandung zat pewarna.
- Hindarkan kontak dengan penderita influenza, hindarkan anak berada di tempat yang sedang terjadi perubahan cuaca, misalnya sedang mendung.
2. Kegiatan fisik
Anak yang menderita asma jangan dilarang bermain atau berolah raga. namun olahraga perlu diatur karena merupakan kebutuhan untuk tumbuh kembang anak. Pengaturan dilakukan dengan cara:
- Menambahkan toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan gerak yang mendadak
- Bila mulai batuk-batuk, istirahatlah sebentar, minum air dan setelah tidak batuk-batuk, kegiatan diteruskan.
- Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum obat atau menghirup aerosol terlebih dahulu.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan masa lalu
- Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
- Kaji riwayat reksi alergi atau sensitivitas terhadap zat/faktor lingkungan
b. Aktivitas
- Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernafas
- Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bentuan melakukan aktivitas sehari-hari
- Tidur dalam posisi duduk tinggi
c. Pernapasan
- Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
- Napas memburuk ketika klien berbaring telentang di tempat tidur
- Menggunakan alat bantu pernapasan, misal meninggikan bahu, melebarkan hidung.
- Adanya bunyi napas mengi
- Adanya batuk berulang
d. Sirkulasi
- Adanya peningkatan tekanan darah
- Adanya peningkatan frekuensi jantung
- Warna kulit atau membran mukosa normal/abu-abu/sianosis
e. Integritas ego
- Ansietas
- Ketakutan
- Peka rangsangan
- Gelisah
f. Asupan nutrisi
- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan
- Penurunan berat badan karena anoreksia
g. Hubungan sosial
- Keterbatasan mobilitas fisik
- Susah bicara atau bicara terbata-bata
- Adanya ketergantungan pada orang lain
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
b. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru, yaitu:
- Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation
- Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right Bundle branch Block)
- Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
d. Scanning Paru
Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel. Pemeriksaan spirometri tdak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkospasme
Tujuan: mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi bersih dan jelas
Intervensi:
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
- Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
- Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat
- Tempatkan klie pada posisi yang nyaman. Contoh: meninggikan kepala TT, duduk pada sandaran TT
- Pertahankan polusi lingkungan minimum. Contoh: debu, asap,dll
- Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung, memberikan air hangat.
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi.
2) Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen
Tujuan: perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat
Intervensi:
- Kaji/awasi secara rutin keadaan kulit klien dan membran mukosa
- Awasi tanda vital dan irama jantung
- Kolaborasi: .berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi klien
- Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia
- Penurunan getaran vibrasi diduga adanya penggumpalan cairan/udara
- Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik.
3) Cemas pada orang tua dan anak b.d penyakit yang dialami anak
Tujuan: menurunkan kecemasan pada orang tua dan anak
Intervensi untuk orang tua:
- Berikan ketanangan pada orang tua
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian dan informasi (Waley & Wong, 1989)
- Mendorong keluarga untuk terlibat dalam perawatan anaknya
- Konsultasi dengan tim medis untuk mengetahui kondisi anaknya.
Intervensi untuk anak:
- Bina hubungan saling percaya
- Mengurangi perpisahan dengan orang tuanya
- Mendorong untuk mengekspresikan perasaannya
- Melibatkan anak dalam bermain
- Siapkan anak untuk menghadapi pengalaman baru, misal: pprosedur tindakan
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian informasi (Waley & Wong, 1989).
4) Risiko tinggi kopong keluarga tidak efektif b.d tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial orang tua
Tujuan: koping keluarga kembali efektif
Intervensi:
- Buat hubungan dengan orang tua yang mendorong mereka mengungkapkan kesulitan
- Berikan informasi pada orang tua tentang perkembangan anak
- Berikan bimbingan antisipasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
- Tekankan pentingnya sistem pendukung
- Anjurkan orang tua untuk menyediakan waktu sesuai kebutuhan
- Bantu orang tua untuk merujuk pada ahli penyakit
- Informasikan kepada orang tua tentang pelayanan yang tersedia di masyarakat.
J. Daftar Pustaka
- Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta.
- Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. EGC: Jakarta.
- Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
- Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29.EGC: Jakarta.
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakheobronkhial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trachea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangandengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
1. Faktor Predisposisi
- Genetik
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
2. Faktor Presipitasi
- Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh: perhiasan, logam, dan jam tangan.
- Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.
- Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
- Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap penctus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
D. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal reaksi alergi. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkhiolus berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkhiolus. Bronkhiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi hanya sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal in dapat menyebabkan barrel chest.
E. Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik: sesak nafas, mengi (wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala yang timbul makin banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada, takikardi, dan pernafasan cepat-dangkal. Serangan asma sering terjadi pada malam hari.
F. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
G. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronkhial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera
2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai penyakit asma. Meliputi pengobatan dan perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawat.
- Pengobatan
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1) Pengobatan non farmakologik
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisioterapi
e. Beri O₂ bila perlu
2) Pengobatan farmakologik
- Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
a. Simpatomimetik/andrenergik (adrenalin dan efedrin)
Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), fenoterol (berotec), terbutalin (bricasma).
b. Santin (teofilin)
Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard), Teofilin (Amilex)
Penderita dengan penyakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.
- Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian 1 bulan.
- Ketolifen
Mempunya efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dosis 2 kali 1 mg/hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan secara oral.
H. Pencegahan Serangan Asma pada Anak
1. Menghindari pencetus
Cara menghindari berbagai pencetus serangan pada asma perlu diketahui dan diajarkan pada keluarganya yang sering menjadi faktor pencetus adalah debu rumah. Untuk menghindari pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak:
- Sprei, tirai, selimut minimal dicuci 2 minggu sekali. Sprei dan sarung bantal lebih sering. Lebih baik tidak menggunakan karpet di kamar tidur atau tempat bermain anak. Jangan memelihara binatang.
- Untuk menghindari penyebab dari makanan bila belum tau pasti, lebih baik jangan makan coklat, kacang tanah atau makanan yang mengandung es, dan makanan yang mengandung zat pewarna.
- Hindarkan kontak dengan penderita influenza, hindarkan anak berada di tempat yang sedang terjadi perubahan cuaca, misalnya sedang mendung.
2. Kegiatan fisik
Anak yang menderita asma jangan dilarang bermain atau berolah raga. namun olahraga perlu diatur karena merupakan kebutuhan untuk tumbuh kembang anak. Pengaturan dilakukan dengan cara:
- Menambahkan toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan gerak yang mendadak
- Bila mulai batuk-batuk, istirahatlah sebentar, minum air dan setelah tidak batuk-batuk, kegiatan diteruskan.
- Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum obat atau menghirup aerosol terlebih dahulu.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan masa lalu
- Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
- Kaji riwayat reksi alergi atau sensitivitas terhadap zat/faktor lingkungan
b. Aktivitas
- Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernafas
- Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bentuan melakukan aktivitas sehari-hari
- Tidur dalam posisi duduk tinggi
c. Pernapasan
- Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
- Napas memburuk ketika klien berbaring telentang di tempat tidur
- Menggunakan alat bantu pernapasan, misal meninggikan bahu, melebarkan hidung.
- Adanya bunyi napas mengi
- Adanya batuk berulang
d. Sirkulasi
- Adanya peningkatan tekanan darah
- Adanya peningkatan frekuensi jantung
- Warna kulit atau membran mukosa normal/abu-abu/sianosis
e. Integritas ego
- Ansietas
- Ketakutan
- Peka rangsangan
- Gelisah
f. Asupan nutrisi
- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan
- Penurunan berat badan karena anoreksia
g. Hubungan sosial
- Keterbatasan mobilitas fisik
- Susah bicara atau bicara terbata-bata
- Adanya ketergantungan pada orang lain
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
b. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru, yaitu:
- Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation
- Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right Bundle branch Block)
- Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
d. Scanning Paru
Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel. Pemeriksaan spirometri tdak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkospasme
Tujuan: mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi bersih dan jelas
Intervensi:
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
- Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
- Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat
- Tempatkan klie pada posisi yang nyaman. Contoh: meninggikan kepala TT, duduk pada sandaran TT
- Pertahankan polusi lingkungan minimum. Contoh: debu, asap,dll
- Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung, memberikan air hangat.
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi.
2) Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen
Tujuan: perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat
Intervensi:
- Kaji/awasi secara rutin keadaan kulit klien dan membran mukosa
- Awasi tanda vital dan irama jantung
- Kolaborasi: .berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi klien
- Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia
- Penurunan getaran vibrasi diduga adanya penggumpalan cairan/udara
- Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik.
3) Cemas pada orang tua dan anak b.d penyakit yang dialami anak
Tujuan: menurunkan kecemasan pada orang tua dan anak
Intervensi untuk orang tua:
- Berikan ketanangan pada orang tua
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian dan informasi (Waley & Wong, 1989)
- Mendorong keluarga untuk terlibat dalam perawatan anaknya
- Konsultasi dengan tim medis untuk mengetahui kondisi anaknya.
Intervensi untuk anak:
- Bina hubungan saling percaya
- Mengurangi perpisahan dengan orang tuanya
- Mendorong untuk mengekspresikan perasaannya
- Melibatkan anak dalam bermain
- Siapkan anak untuk menghadapi pengalaman baru, misal: pprosedur tindakan
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian informasi (Waley & Wong, 1989).
4) Risiko tinggi kopong keluarga tidak efektif b.d tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial orang tua
Tujuan: koping keluarga kembali efektif
Intervensi:
- Buat hubungan dengan orang tua yang mendorong mereka mengungkapkan kesulitan
- Berikan informasi pada orang tua tentang perkembangan anak
- Berikan bimbingan antisipasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
- Tekankan pentingnya sistem pendukung
- Anjurkan orang tua untuk menyediakan waktu sesuai kebutuhan
- Bantu orang tua untuk merujuk pada ahli penyakit
- Informasikan kepada orang tua tentang pelayanan yang tersedia di masyarakat.
J. Daftar Pustaka
- Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta.
- Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. EGC: Jakarta.
- Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
- Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29.EGC: Jakarta.
Minggu, 16 Januari 2011
ASKEP PRE DAN POST OPERASI PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS
BAB I
PENDAHULUAN
Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi.
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001).
B. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
C. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda:
a). Gagal nafas total
Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan.
b). Gagal nafas parsial
Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
Ada retraksi dada
Gejala:
Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2).
Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg Sedang : PaO2 < 60 mmHg Berat : PaO2 < 40 mmHg Pemeriksaan rontgen dada Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui Hemodinamik Tipe I : peningkatan PCWP EKG Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan Disritmia. F. PENGKAJIAN 1) Airway Peningkatan sekresi pernapasan Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi 2) Breathing Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi. Menggunakan otot aksesori pernapasan Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis. 3). Circulation Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia Sakit kepala Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk • Papiledema • Penurunan haluaran urine. G. PENTALAKSANAAN MEDIS a) Terapi oksigen Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong b) Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP c) Inhalasi nebuliser d) Fisioterapi dada e) Pemantauan hemodinamik/jantung f) Pengobatan -Brokodilator -Steroid g) Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan. H. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan yang efektif. Kriteria Hasil : • Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal • Adanya penurunan dispneu • Gas-gas darah dalam batas normal Intervensi : • Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan. • Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn • Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg. • Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan pesanan • Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2 • Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam • Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan • Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk • Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir • Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap hipoventilasi.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
• Bunyi paru bersih
• Warna kulit normal
• Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan.
Intervensi :
• Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
• Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
• Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
• Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
• Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan
• Pantau irama jantung
• Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
• Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
• Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
• TTV normal
• Balance cairan dalam batas normal
• Tidak terjadi edema.
Intervensi :
• Timbang BB tiap hari
• Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
• Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
• Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
• Monitor parameter hemodinamik
• Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit
1. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
• Status hemodinamik dalam bata normal
• TTV normal
Intervensi :
• Kaji tingkat kesadaran
• Kaji penurunan perfusi jaringan
• Kaji status hemodinamik
• Kaji irama EKG
• Kaji sistem gastrointestinal
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
ASKEP KLIEN PRE DAN POST OPERASI GANGGUAN
PERNAFASAN
A. Askep Klien Pre Operasi
1. Pengertian
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan. Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam aktivitas yang dilakukan oleh perawat diruang operasi.
2. Persiapan klien Pre Operasi
a) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
b) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan, lingkar lengan atas, kadar protein, darah dan keseimbangan nitrogen.
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output.
d) Kebersihan lambung dan Kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan.
e) Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
3. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengontrolan TTV
Melakukan auskultasi dada
Pola pernafasan
2. Diagnosa
Resiko infeksi
Resiko cedera
3. Implementasi
Memberikan dukungan emosional
Mengukur posisi yang sesuai
Mempertahankan keadaan aseptis
Menjaga kestabilan temperature pasien
Memonitor hiperglikemi
Membantu penutupan luka operasi
Membantu penutupan luka operasi
Memindahkan pasien keruang pemulihan
4. Intervensi
Memperbaiki jalan nafas
Pendidikan pasien
Menghilangkan ansietas
B. Askep Klien Post-Operasi
2. Pengertian
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan (Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
3. Yang harus diperhatikan pada Post-operasi
a. Pernafasan
b. Sirkulasi
c. Pengontrolan suhu
d. Fungsi Nurologis
e. Fungsi Genitrourinaria
f. Fungsi Gastroinfestinal
g. Keseimbangan cairan dan elektrolit
h. Kenyamanan
4. Proses keperawatan
a) Pengkajian
Pemeriksaan TTV
Tingkat kesadaran
Kondisi bautan dan drainase
Asupan cairan
b) Diagnosa keperawatan
Ketidakefektifan jalan nafas
Ketidakefektifan pola pernafasan
Nyeri
Resiko kekurangan volume cairan
Resiko kerusakan integritas kulit
c) Perencanaan
Menunjukkan fungsi fisiologis normal
Tidak memperlihatkan adanya infeksi bekas luka
Dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman
Kembali pada status kesehatan fungsional
d) Implementasi / Penatalaksanaan
Mempertahankan fungsi pernafasan
Mencegah statis sirkulasi
Meningkatkan fungsi eleminasi
Mempercepat penyembuhan luka
Memperoleh kenyamanan dan istirahat
Mempercepat kembalinya status kesehatan fungsional
e) Evaluasi
Ukur penyimpangan dada saat bernafas dalam
Inspeksi kondisi tepi luka
Kaji suhu tubuh
Evaluasi perilaku verbal dan nonverbal
Observasi tingkat ambulasi klien
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya.
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan.
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan (Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
B. Saran
1. Pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
2. Memperhatikan Kebersihan tubuh si pasien sebelum operasi dengan menyuruh pasien berpuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, (2000), Buku Ajar Keperawatn Medikal Bedah, Buku Kedokteran, ECG, Jakarta.
www.keperawatanmedikalbedah.com
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
PENDAHULUAN
Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi.
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001).
B. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
C. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda:
a). Gagal nafas total
Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.
Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan.
b). Gagal nafas parsial
Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
Ada retraksi dada
Gejala:
Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2).
Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg Sedang : PaO2 < 60 mmHg Berat : PaO2 < 40 mmHg Pemeriksaan rontgen dada Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui Hemodinamik Tipe I : peningkatan PCWP EKG Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan Disritmia. F. PENGKAJIAN 1) Airway Peningkatan sekresi pernapasan Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi 2) Breathing Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi. Menggunakan otot aksesori pernapasan Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis. 3). Circulation Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia Sakit kepala Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk • Papiledema • Penurunan haluaran urine. G. PENTALAKSANAAN MEDIS a) Terapi oksigen Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong b) Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP c) Inhalasi nebuliser d) Fisioterapi dada e) Pemantauan hemodinamik/jantung f) Pengobatan -Brokodilator -Steroid g) Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan. H. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan yang efektif. Kriteria Hasil : • Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal • Adanya penurunan dispneu • Gas-gas darah dalam batas normal Intervensi : • Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan. • Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn • Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg. • Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan pesanan • Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2 • Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam • Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan • Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk • Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir • Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap hipoventilasi.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
• Bunyi paru bersih
• Warna kulit normal
• Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan.
Intervensi :
• Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
• Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
• Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
• Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
• Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan
• Pantau irama jantung
• Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
• Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
• Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
• TTV normal
• Balance cairan dalam batas normal
• Tidak terjadi edema.
Intervensi :
• Timbang BB tiap hari
• Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
• Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
• Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
• Monitor parameter hemodinamik
• Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit
1. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
• Status hemodinamik dalam bata normal
• TTV normal
Intervensi :
• Kaji tingkat kesadaran
• Kaji penurunan perfusi jaringan
• Kaji status hemodinamik
• Kaji irama EKG
• Kaji sistem gastrointestinal
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
ASKEP KLIEN PRE DAN POST OPERASI GANGGUAN
PERNAFASAN
A. Askep Klien Pre Operasi
1. Pengertian
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan. Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam aktivitas yang dilakukan oleh perawat diruang operasi.
2. Persiapan klien Pre Operasi
a) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
b) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan, lingkar lengan atas, kadar protein, darah dan keseimbangan nitrogen.
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output.
d) Kebersihan lambung dan Kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan.
e) Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
3. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengontrolan TTV
Melakukan auskultasi dada
Pola pernafasan
2. Diagnosa
Resiko infeksi
Resiko cedera
3. Implementasi
Memberikan dukungan emosional
Mengukur posisi yang sesuai
Mempertahankan keadaan aseptis
Menjaga kestabilan temperature pasien
Memonitor hiperglikemi
Membantu penutupan luka operasi
Membantu penutupan luka operasi
Memindahkan pasien keruang pemulihan
4. Intervensi
Memperbaiki jalan nafas
Pendidikan pasien
Menghilangkan ansietas
B. Askep Klien Post-Operasi
2. Pengertian
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan (Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
3. Yang harus diperhatikan pada Post-operasi
a. Pernafasan
b. Sirkulasi
c. Pengontrolan suhu
d. Fungsi Nurologis
e. Fungsi Genitrourinaria
f. Fungsi Gastroinfestinal
g. Keseimbangan cairan dan elektrolit
h. Kenyamanan
4. Proses keperawatan
a) Pengkajian
Pemeriksaan TTV
Tingkat kesadaran
Kondisi bautan dan drainase
Asupan cairan
b) Diagnosa keperawatan
Ketidakefektifan jalan nafas
Ketidakefektifan pola pernafasan
Nyeri
Resiko kekurangan volume cairan
Resiko kerusakan integritas kulit
c) Perencanaan
Menunjukkan fungsi fisiologis normal
Tidak memperlihatkan adanya infeksi bekas luka
Dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman
Kembali pada status kesehatan fungsional
d) Implementasi / Penatalaksanaan
Mempertahankan fungsi pernafasan
Mencegah statis sirkulasi
Meningkatkan fungsi eleminasi
Mempercepat penyembuhan luka
Memperoleh kenyamanan dan istirahat
Mempercepat kembalinya status kesehatan fungsional
e) Evaluasi
Ukur penyimpangan dada saat bernafas dalam
Inspeksi kondisi tepi luka
Kaji suhu tubuh
Evaluasi perilaku verbal dan nonverbal
Observasi tingkat ambulasi klien
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan pre-operatif merupakan tahapan awal dari perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan vase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya.
Keperawatan Pre operasi adalah dimulai ketika klien masuk/pindah kebagian bedah dan berakhir saat klien dipindahkan keruang pemulihan.
Keperawatan Post-Operasi adalah dimulai dengan masuknya klien keruang pemulihan (Recovery Room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
B. Saran
1. Pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.
2. Memperhatikan Kebersihan tubuh si pasien sebelum operasi dengan menyuruh pasien berpuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, (2000), Buku Ajar Keperawatn Medikal Bedah, Buku Kedokteran, ECG, Jakarta.
www.keperawatanmedikalbedah.com
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
Langganan:
Postingan (Atom)